Oleh: Rahayu SJ, Mahasiswi IAI Al Qolam Malang
Tugujatim.id – Anda pernah mendengar istilah BDD? Ya, BDD adalah body dysmorphic disorder atau gangguan mental yang ditandai dengan gejala berupa rasa cemas berlebihan terhadap kelemahan atau kekurangan dari penampilan fisik diri sendiri.
Mungkin Anda pernah mengalami malas ke rumah-rumah. Takut lepas masker. Malu punya wajah yang jerawatan. Takut kalau enggak diterima sama teman-teman. Takut kalau dihina soal warna kulit, takut diasingkan karena wajah enggak semulus yang lain. Bingung cara harus makeup-an tebal atau tipis aja. Make-up tebal dikira tante-tante, make-up tipis ketahuan kerutan di wajah. Pakai baju ini kelihatan gendut, pakai baju ini tidak nyaman. Kenapa ya, pinggangku selebar ini? Pantatku sebesar ini? Kenapa aku tetap tidak putih meski pakai lulur sehari sekali?”
Hm… segala prasangka negatif itu tumbuh karena stereotip tentang standar kecantikan perempuan digaungkan begitu keras. Perempuan cantik itu harus putih, badan kurus tapi tetep seksi, wajah mulus, dan tinggi. Anda terpaku pada itu semua. Jadi, jika kita tak memiliki standar kecantikan yang “tidak masuk akal itu”, Anda jadi mengutuk diri sendiri.
Berapa banyak perempuan di luar sana yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengasihani diri mereka sendiri karena tidak bisa menjadi yang lain? Berapa banyak perempuan yang mati-matian ingin mengikuti beauty standard (standar kecantikan) yang media sosial buat?
Sebuah penelitian di Amerika, menunjukkan beberapa permasalahan yang terjadi di kalangan perempuan akibat adanya beauty standard ini, di antaranya gangguan depresi, kehilangan kepercayaan diri, gangguan makan, hingga gangguan ketidakpuasan diri terhadap penampilan tubuh.
Apa sih Body Dysmorphic Disorder Itu?
Melansir dari NHS UK, BDD dikategorikan sebagai kondisi kesehatan jiwa di mana penderitanya menghabiskan sebagian besar waktunya mengkhawatirkan penampilannya. Kekhawatiran ini bisa sampai ke tahap di mana mereka terobsesi terhadap kekurangan pada tubuhnya, sekecil apa pun kekurangan itu, meski tidak ada orang lain selain dia sendiri yang menyadari hal tersebut. Gangguan tersebut membuat seseorang terus merasa cemas dengan kekurangan fisik minor atau kekurangan imajiner dirinya. Seseorang dengan BDD dapat merasa tertekan sekaligus mengalami kegagalan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Salah satu ciri orang dengan BDD adalah selalu memperhatikan bentuk tubuh di depan cermin. Mereka juga akan menghabiskan banyak waktu di depan cermin untuk berdandan demi menutupi kekurangannya, tapi tetap tidak akan pernah puas. Selalu merasa, “andai pipiku lebih kurus/tembem”, “andai mataku lebih sipit”, “andai pinggangku lebih kecil”, dan seterusnya.
Berdasarkan sebuah penelitian oleh Philip dan Menard di tahun 2006, sebanyak 75% individu dengan BDD mengatakan bahwa mereka pernah merasa ingin melakukan bunuh diri dan sebanyak 25% pasien dengan BDD dilaporkan pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Lantas, bagaimana cara untuk mengatasi orang yang sudah terkena BDD akut? Maka bertemulah dengan profesional untuk mendapatkan perawatan yang tepat. Perawatan yang direkomendasikan oleh American Psychiatric Association untuk para penderita BDD adalah: Cognitive behavioral therapy (CBT) dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs).
CBT adalah sebuah terapi dengan cara mengobrol, yang dapat membantu penderita BDD mengubah pola pikir terkait penampilan mereka. Biasanya CBT akan dikombinasikan dengan exposure response prevention (ERP) yang menyediakan serangkaian “tugas” yang dapat mendorong mereka untuk melawan ketakutan dan pikiran negatif atas penampilannya. Berbeda dengan CBT dan ERP yang mengatasi BDD melalui perubahan perilaku, SSRIs merupakan sebuah pengobatan yang dapat menurunkan tingkat kecemasan dan pikiran obsesif dari penggunanya.
Sudah saatnya kita menerima kecantikan alami kita dan merawatnya. Sudah saatnya kita membangun perspektif baru tentang cantik itu sendiri. Cantik seharusnya adalah kemerdekaan bagi kita semua. Cantik tidak perlu mengikuti beauty standard yang selama ini ada dalam benak kita, benak masyarakat kita.
Kecantikan seharusnya menjadi kebebasan, yang siapa saja layak mendapatkannya. Keberanian menjadi diri sendiri, menerima diri sendiri, harusnya menjadi perisai untuk setiap perempuan. Bahwa kita ini cukup. Apa yang telah kita dapatkan ini adalah bentuk sempurna dari Tuhan. Ya, tugas kita setelah menerima bentuk tubuh kita adalah merawatnya. Merawat dengan sehat sesuai ingin kita. Bukan mati-matinya mengubah bentuk tubuh untuk menjadi seperti orang lain.
Ayo, kita bersama-sama menghilangkan beauty standard yang diagungkan selama ini. Mari, kita ciptakan definisi cantik kita sendiri. Mari, persilahkan diri kita untuk terbebas dari standard-standard yang selama ini membelenggu kita untuk tumbuh.