Tugujatim.id – Berdasar sebuah studi genom terbaru yang diterbitkan Current Biology, ditemukan bukti genetik yang menunjukkan jika manusia purba di Asia Timur pernah terpapar virus corona sekitar 20.000 tahun yang lalu.
Penelitian ini sendiri ditulis oleh ilmuwan dari beberapa lembaga, termasuk Departemen Ekologi Universitas Arizona, dan Pusat Biologi Evolusi Australia untuk DNA Kuno.
Business Insider melaporkan bahwa para peneliti menemukan penanda unik dalam genom orang-orang dari China, Jepang, dan Vietnam. Genom ini menunjukkan nenek moyang mereka beradaptasi untuk melawan ancaman virus.
Penanda ini tidak ditemukan di benua lain, atau bahkan di negara tetangga Asia Selatan. Penanda tersebut juga berbeda dari penanda yang terkait dengan penyakit lain di wilayah tersebut.
Temuan ini menunjukkan populasi ini terpapar epidemi virus corona atau virus yang sangat mirip. Diperkirakan bahwa keluarga virus muncul sekitar 23.000 hingga 25.000 tahun yang lalu.
Malnsir dari Science Daily, Profesor Alexandrov berkata, “Genom manusia modern berisi informasi evolusioner yang menelusuri kembali puluhan ribu tahun, seperti mempelajari cincin pohon memberi kita wawasan tentang kondisi yang dialaminya saat tumbuh.”
Dalam studi tersebut, para peneliti menggunakan data dari 1000 Genomes Project. Projek ini merupakan katalog publik terbesar dari variasi genetik manusia umum. Peneliti menggunakan 1000 Genomes Project untuk melihat perubahan dalam gen manusia yang mengkode protein yang berinteraksi dengan SARS-CoV-2.
Profesor Alexandrov menjelaskan, “Dengan mengembangkan wawasan yang lebih luas tentang musuh virus purba, kami memperoleh pemahaman tentang bagaimana genom dari populasi manusia yang berbeda beradaptasi dengan virus yang baru-baru ini diakui sebagai pendorong signifikan evolusi manusia.
“Cabang penting lain dari penelitian ini adalah kemampuan untuk mengidentifikasi virus yang telah menyebabkan epidemi di masa lalu dan mungkin melakukannya di masa depan.
“Ini memungkinkan kami untuk menyusun daftar virus yang berpotensi berbahaya dan kemudian mengembangkan diagnostik, vaksin, dan obat-obatan jika mereka kembali.”