SURABAYA, Tugujatim.id – Indonesia yang kaya akan keberagaman memang patut untuk terus disatukan. Melalui ruang-ruang interaksi antarkelompok etnis menjadi salah satu caranya.
Rumah Kreasi Teater Mata Flores menjadi komunitas yang mewakili Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk ajang Surabaya Cross Culture International Folk Art (SCCIFA) 2023, juga sebagai salah satu delegasi luar daerah.
SCCIFA digelar oleh Dinas Kebudayaan, Olahraga dan Kepemudaan serta Pariwisata Kota Surabaya dengan bekerja sama dengan CIOFF Indonesia mulai 16-20 Juli 2023.
Ketua Komunitas Rumah Kreasi Teater Mata Flores, Oston Gadi Kapo mengungkapkan kebanggannya bisa ikut berpartisipasi dan meramaikan SCCIFA 2023 di Surabaya.
Kali ini, kelompok Ende membawakan konsep perpaduan antara tarian, musik, dan nyanyian untuk diperkenalkan kepada masyarakat Surabaya.
Lebih dari itu, Oston mengungkapkan bahwa NTT, khususnya Ende, tak hanya sebatas memiliki unsur keberagaman, tetapi juga sejarah yang tinggi sejak zaman penjajahan Belanda.
‘Di Ende menjadi lokasi di mana Presiden Soekarno diasingkan saat masa penjajahan. Dan di kota itulah Bung Karno memikirkan tentang butir-butir Pancasila yang kemudian menjadi landasan bangsa ini untuk mempersatukan Nusantara,” katanya sebelum mengikuti Parade Daville SCCIFA 2023, pada Minggu (16/7/2023).
Oston mengungkapkan, tokoh Bung Karno tak lepas dalam benak masyarakat Ende. Bung Karno jugalah yang menyadari bahwa Ende memiliki keanekaragaman budaya dan filosofi tinggi.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Oston bersama perwakilan Ende mengaku berjuang sendiri tanpa bantuan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ende untuk menjadi salah satu delegasi SCCIFA 2023 di Surabaya. “Kami berjuang sendiri di acara ini. Selama ini Indonesia timur tidak pernah terlibat dj kegiatan ini dan kami mendapat informasi di internet,” ujarnya.
Sehingga ia berharap kepada Pemkab Ende dan Pemprov NTT agar lebih membuka ruang bagi komunitas keberagaman di Indonesia agar bisa terlibat dalam kegiatan kebudayaan di Ende, sehingga bisa tercipta relasi pluralisme.
“Kita terlalu ego untuk menunggu orang datang ke NTT. Tapi kita harus membuka diri untuk luar, maka Indonesia yang utuh ini akan indah sekali. Kalau interaksi ini tidak dibangun maka akan tetap ada penggolongan barat, timur, utara, dan selatan. Kalau ada interaksi seperti ini saya yakin, damainya Indonesia akan bersatu dan indah sekali,” ungkapnya penuh haru.
Ia berjanji, pulang dari Surabaya akan membawa cerita-cerita indah tentang pertemuan budaya antardaerah dan negara. Pengalaman ini akan dilanjutkan kepada masyarakat Ende dan NTT, khususnya pemerintah setempat.
“Pasti ketika kami pulang dari sini, melalui postingan media sosial banyak cerita yang akan kami sampaikan ke meraka. Dampaknya adalah kami harus banyak belajar kepada Pemkot Surabaya karena sudah membuka ruang untuk seluruh unsur sehingga melakukan kegiatan seperti ini bisa terjadi di Flores,” ucapnya.
Ia juga berharap, Festival Kelimutu yang menjadi kebanggaan masyarakat NTT dapat dilaksanakan secara meriah seperti di Surabaya.
“Setiap tahun kami selalu mengadakan Festival Kelimutu tapi tidak pernah seheboh ini dan tidak membuka banyak orang. Saya harap dari ini bisa berbagi cerita indah dengan masyarakat, Pemkab dan Dinas Kebudayaan Ende untuk membuka diri agar tahu budaya orang lain, tidak hanya budaya diri sendiri,” pungkasnya.
Reporter: Izzatun Najibah
Editor: Lizya Kristanti