MALANG, Tugujatim.id – Sosok anak muda asal Indonesia yang begitu menginspirasi, Ayunda Faza Maudya atau yang lebih dikenal dengan nama Maudy Ayunda, akhirnya berbagi kisah perjalanannya menempuh pendidikan di Negeri Paman Sam selama dua tahun terakhir ini melalui kanal YouTube-nya yang diunggah Senin (12/07/2021). Gadis kelahiran 1994 yang kuliah di Stanford University, Amerika Serikat, ini mengungkapkan, banyak hal yang dia rasakan dan turut mengubah pandangan hidupnya selama ini.
“Pertama, aku harus belajar beradaptasi dan berubah, belajar selama pandemi tentunya, kelas Zoom mengambil alih dan kampus sekejap menjadi sunyi senyap. Pengalaman belajarku berubah, semua menyesuaikan,” ujarnya dalam video yang berdurasi tiga belas menit tersebut.
Kedua, Maudy menjadi belajar akan pentingnya menghargai alam bebas. Dia sering kali terlihat menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas outdoor. Berkuliah di Stanford bahkan kembali membangkitkan kecintaan lamanya untuk olahraga lari.
“Jadi, salah satu yang aku suka banget di sini adalah banyaknya tempat outdoor di mana aku bisa lari, jalan, pokoknya bisa aktif di alam. Itu caraku meluangkan waktu dengan diriku dan salah satu goal di masa Covid-19 agar tetap aktif. Aku berusaha setiap hari paling enggak melakukan 10 ribu steps,” ujarnya.
Ketiga, dia mengungkapkan untuk kali pertama dirinya merasa nyaman dengan kritik. Dia mengatakan, orang yang tidak bisa menerima kritik itu adalah yang paling merugi karena sudah melewatkan kesempatan untuk tumbuh dan memperbaiki dirinya sendiri.
Maudy mengatakan, dia kembali teringat akan quote Stanford, “Ubahlah Kehidupan, Ubahlah Organisasi, dan Ubahlah Dunia”. Begitu pula dengan pengalamannya bertemu dengan bermacam-macam orang dari berbagai lapisan masyarakat yang memberikan banyak cerita dari perspektif yang berbeda, turut memicu gadis itu untuk berubah.
Terakhir, alumnus Universitas Oxford itu mengungkapkan, hidup itu lebih dari sekadar hal-hal besar, lebih dari sekadar target yang ingin dicapai. Bagi dia, hidup adalah tentang apa yang dirasakannya dengan sekitar. Yaitu, udara yang dia hirup maupun tawa dari orang-orang terdekatnya.
“Anehnya setelah dua tahun ini, aku merasa telah menjadi orang yang jauh lebih sederhana. Dua tahun yang lalu aku datang ke Stanford ingin mengubah dunia, tapi malah mengubah diriku sendiri secara personal,” tambahnya.