Oleh: Hanif Nanda*
Tak banyak novel yang diadaptasi ke layar lebar menuai sambutan hangat. Terlebih novel bernuansa religi, khususnya yang mengambil latar tempat yang spesifik seperti pondok pesantren.
Namun, film Hati Suhita yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama tampaknya menjadi pengecualian.
Seminggu sebelum resmi dirilis, pada gala premier yang digelar di Mojokerto saja dihadiri tak kurang dari ratusan orang. Apalagi gala premiere yang dilaksanakan di kota-kota lain.
Memang harus diakui hadirnya film Hati Suhita menjadi pembeda besar di kala bioskop diserbu dengan film bergenre horor lokal atau film produksi Hollywood.
Sutradara Hati Suhita, Archie Hekagery patut diacungi jempol dalam meramu adegan demi adegan. Meski, terasa perpindahan antara satu konflik dengan konflik yang lain terasa kurang mulus, loncat lumayan jauh. Seperti awal mula perkenalan Alina Suhita (Nadya Arina) dan Gus Birru (Omar Daniel). Pertemuan keduanya hanya diceritakan sekilas saja saat Suhita kecil bertemu Gus Birru kecil, lalu tiba-tiba setting film berpindah waktu saat keduanya resmi naik ke pelaminan.
Lalu, salah satu garis besar yang dapat ditangkap pada film Hati Suhita adalah bagaimana pimpinan pondok pesantren (kyai atau bu nyai) mencari jodoh bagi anak-anaknya berdasarkan kecocokan. Tentu, bukan bermaksud melakukan generalisir terhadap semua pondok pesantren. Namun, masih terdapat pimpinan pondok pesantren yang berprinsip jodoh berdasarkan kecocokan.
Alina Suhita yang pernah mengenyam pendidikan lewat pondok pesantren tentu menjadi prioritas utama orang tua Gus Birru ketimbang Ratna Rengganis, seorang aktivis yang suka menulis buku tanpa pernah tahu rasanya mendulang ilmu di pondok pesantren.
Selain itu, pondok pesantren dalam film Hati Suhita digambarkan berbeda jauh dari pandangan khalayak umum. Orang awam terkadang memandang pondok pesantren lekat dengan nuansa sederhana, apa adanya, jauh dari kata pantas bahkan mewah.
Pondok pesantren dalam film Hati Suhita dinarasikan dalam nuansa bersih, tertata rapi, teratur, bahkan mendekati kata mewah. Boleh dibilang, semangat pondok pesantren naik kelas terbersit dalam film ini.
Dan, memang sudah saatnya pondok pesantren naik kelas. Naik kelas dalam arti bagaimana tata kelola kelembagaan pondok pesantren dimaknai dengan semangat kesetaraan dan profesionalisme tanpa menghilangkan konsep tawadhu.
Semangat kesetaraan nampak dalam salah satu adegan di mana Alina Suhita berbincang dengan para pengajar di Pondok Pesantren Al Anwar. Perbincangan yang terlihat menyuguhkan bagaimana sosok perempuan seperti Suhita juga melek terhadap kurikulum hingga perangkat modern, tanpa menghilangkan khazanah keilmuan klasik yang sudah mendarah daging.
Lalu, bagaimana dengan konflik lain yang tersaji dalam film Hati Suhita? Saksikan sendiri di bioskop kesayangan Anda.
*Penulis merupakan wartawan tugujatim.id.