PASURUAN, Tugujatim.id – Ummu Fatimah Qomariyah, 20, mahasiswi asal Pasuruan, ini menjadi salah satu warga negara Indonesia (WNI) yang berhasil dievakuasi dari Perang Sudan. Mata Fatimah masih tampak berkaca-kaca ketika ditemui di rumahnya di Gang Jambangan 2, Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, Selasa siang (02/05/2023).
Ummu Fatimah, mahasiswi International University of Africa (UIA), ini merasa lega setelah bisa dipulangkan bersama rombongan kloter pertama 358 WNI asal Indonesia dari medan perang saudara Sudan. Dia bersama 37 WNI asal Jawa Timur pengungsi korban Perang Sudan ini sampai di Surabaya pada Minggu (30/04/2023).
“Rasanya senang sekali ketika bisa bertemu kembali dengan orang tua dan keluarga,” ujar Fatimah.
Sambil menahan air matanya, mahasiswi jurusan Syariah ini menuturkan perjuangannya hingga bisa selamat kembali di Indonesia. Ketika perang saudara di Sudan antara militer dengan paramiliter
Rapid Support Forces (RSF) pecah pada Senin (15/04/2023), dia masih tinggal di asrama kampus University of Africa (UIA).
Selama seminggu, dia harus bertahan hidup di tempat pengungsian di aula kampusnya. Setiap hari dia merasakan suasana mencekam rentetan tembakan peluru hingga getaran hantaman rudal.
“Posisi asrama dan kampus itu di tengah-tengah zona merah perang, jadi di depan, kiri, kanan, belakang itu markasnya tentara,” ungkapnya.
Baru pada Sabtu (22/04/2023), pihak kampus UIA mengumumkan terkait adanya evakuasi mahasiswa.
Esok harinya pada Minggu (23/04/2023), seluruh mahasiswa kampus UIA dari berbagai negara mulai dievakuasi.
Ummu Fatimah menyatakan evakuasi dilakukan oleh relawan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) bersama Kedubes RI saat pagi buta tepat sekitar pukul 03.00 waktu Sudan. Ada sekitar 800-an mahasiswa Indonesia yang belajar di UEA.
Menurut dia, evakuasi kloter pertama ada sekitar 180-an mahasiswa yang dievakuasi dan diutamakan perempuan dan ibu hamil.
“Barang bawaannya dibatasi, bahkan saya cuma bawa baju ganti satu saja, barang-barang berharga lain seperti laptop terpaksa ditinggal di sana,” ucapnya.
Menurut Fatimah, proses evakuasi kloter pertama ratusan mahasiswa UIA tersebut berlangsung secara menegangkan. Dia harus keluar kampus menyeberang melewati perkampungan warga yang masuk zona merah Perang Sudan. Ratusan mahasiswa ini melewati zona merah perang dalam kondisi gelap gulita karena kondisi listrik yang padam.
“Sepi gak ada listrik dan gak boleh nyalain senter takutnya kelihatan terus malah dicurigai,” imbuhnya.
Setelah sampai di asrama PPI, para mahasiswa juga harus menunggu selama lima jam hingga bus datang. Bahkan dari 16 bus yang dipesan, hanya empat bus yang menyanggupi untuk menjemput mahasiswa.
Mahasiswi yang mendapat beasiswa dari Muhammadiyah Boarding School (MBS) Yogyakarta ini mengungkapkan setelah naik bus, rombongan juga harus melewati kepungan tentara yang berjaga di sepanjang jalan.
“Sekitar lima kali kami diberhentikan tentara, terus tentaranya masuk memeriksa barang bawaan penumpang, bahkan bus terakhir disuruh putar balik oleh tentara,” ucapnya.
Berselang 16 jam, rombongan bus evakuasi kloter pertama pun sampai di Pelabuhan Port Sudan. Dari Port Sudan, rombongan mahasiswa menaiki kapal laut selama 20 jam menuju Jeddah.
“Selama perjalanan ke Jeddah, kami dikawal kapal tentara Sudan,” imbuhnya.
Baru pada Selasa (25/04/2023), rombongan mahasiswa kloter pertama sampai di Jeddah. Setelah menginap semalam, rombongan mahasiswa diterbangkan dari Jeddah dan baru sampai ke Jakarta pada Sabtu (29/04/2023).
“Kemudian Ahad 30 April, saya sampai ke Surabaya, disambut Ibu Gubernur Khofifah. Terus saya langsung pergi ke Jogja menemui kakak, baru pulang ke Pasuruan kemarin malam,” ujarnya.