Oleh: Fathur Roziqin
Tugujatim.id – Rabu, 29 Juni 2022. Pak Kasum mengajak kami ke gubuk singgah, yang kira-kira terletak tiga ratus meter dari tempat penginapan, tampak sangat antusias sekali ketika kami bertanya-tanya tentang aset-aset Desa Kalianyar, Ijen, Bondowoso.
“Ada sekitar delapan spot wisata, Mas, yang kami miliki: Kawan Ijen, Kawah Wurung, Air Terjun Belawan, Air Terjun Busa, Niagara Mini, Pemandian Air Panas, Lava Basaltis, Air Terjun Gantongan,” jawabnya.
Yang saya tahu hanyalah Kawah Ijen—sebelum saya ke Desa Kalianyar ini. Dan saya baru tahu bahwa spot wisata di sini tidak hanya gunung yang menyemburkan api biru itu, melainkan ada banyak sekali spot wisata; ingin sekali rasanya saya kunjungi satu per satu untuk memetakan aset-aset yang bisa kami tulis-abadikan, dan betapa aduhainya jika saya dapat merekam keindahan Surga Ijen itu ke dalam kata-kata.
Tetapi waktu empat puluh hari adalah sangat terbatas dan saya pikir langkah paling efektif untuk mengabadikan momen-momen ini sedikit atau banyak akan saya tulis apa yang saya lakukan; apa yang saya rasa; apa yang saya cium; apa yang saya tatap tajam-tajam di momen itu. Dan …
Saya tiba-tiba teringat sesuatu, saya semester dua dulu, bahwa saya pernah mencatat sesuatu di peta impian lima tahun ke depan; bahwa saya pernah bermimpi menaklukkan kawah Ijen!
Ya, saya baru ingat sekarang: Saya pernah menulis peta impian dan salah satunya adalah Kawah Ijen.
Saya menulis peta impian itu ketika berada di pesantren dan kini catatan itu mungkin bangkainya masih ada dan sudah saya pindahkan ke buku catatan harian dan kini saya benar-benar bukan saja menakutkan Ijen melainkan saya memeluk kawasan Ijen beserta dinginnya. Apakah ini yang namanya takdir?
Ah, saya tak mampu menjawab teka-teki misteri ini, dan tiba-tiba Pak Kasum memutus lamunan saya di tengah hamparan bukit geopark.
“Mari, sore nanti kita lanjutkan ke Ijen Geopark. Kita bisa ngopi-ngopi gratis di sana, dan besok dilanjutkan ke spot wisata lain,” pungkasnya.
Kamis, 20 Juni 2022
“Jangan panggil saya, Bapak,” katanya malu-malu.
“Lalu saya harus panggil apa?” potong Liha.
Kawan-kawan pada cekikikan mendengar celoteh Liha. Dan kami tidak sabar menunggu jawaban Pak Kasum paling muda ini—yang rupa-rupa usianya tidak jauh berbeda dengan kami yang rerata berumur 22 tahun.
“Panggil nama saja,” dia jawab menundukkkan kepala, menunjukkan mati kutu di hadapan kami.
“Panggil saja Alan.”
“Mas Alan?” sahut kawan.
“Ohya … Mas Alan. Gitu ya…”
“Hemm … Mas Alan.”
Saya diam memerhatikan. Faqih yang ada di samping saya cekikikan tak ketulungan. Mas Alan manusia tangguh—setidaknya bagi saya. Di hadapan para Mbakyu, Mas Alan dengan cerdik serta tegas menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang aset-aset desa. Empat belas orang di hadapannya tidak membuat dia lari dari pertanyaan yang agaknya seperti mendapat pertanyaan ujian sidang skripsi.
“Saya hanya lulus SMK Mas/Mbak. Jadi, maklum kalau saya bicara sama mahasiswa, kayak kalian ini, agak belepotan.”
Saya sedikit canggung mau menanggapi; agar suasana obrolan lebih segar dan tidak ada kata sungkan; Mas Alan tiba-tiba menyihir kami.
“Saya masih belajar, Mas.”
Suatu sikap yang sampai pada taraf tawaduk. Kami mendengar dengan khidmat dan mencatat apa yang dikatakannya: dari sejarah mengapa dia tiba-tiba diangkat menjadi kepala Dusun Watu Capil tentang keseharian pemuda di sini yang seumurannya, dan keunikan Desa Kalianyar ini yang memiliki delapan spot wisata itu.
“Yang satu ada di belakang rumah, Mas,” katanya antusias.
“Di belakang rumah?” pikir saya agak sedikit bingung.
Dan benar … kami ditunjukkan spot air terjun gantungan itu dari belakang rumah.
“Untuk lebih jelasnya, seperti kita harus ke sana,” pinta kawan.
Kemudian kami diajak ke tempat langsung dan menyaksikan pemandangan yang memanjakan mata dan, ah …. alam luas terlihat di sana: gunung-gunung yang menjulang tinggi, pohon-pohon biru yang sesekali melambai-lambai, burung-burung yang menari-nari dari kejauhan, pesawat numpang lewat yang tiba-tiba saja ikut menggambar pemandangan alam, air ria yang memancur secara tiba-tiba.
“Saya ingin berlama-lama di sini …” kata saya pada satu kawan yang baru saja mengabadikan pengalaman ini.
“Cukup elegan,” ujar saya.
“Terima kasih. Anda cukup berpengalaman jadi fotografer.”
Dari kejauhan kawan-kawan mengajak Mas Alan berswafoto dan kini dia tampak lebih segar—tampak lebih menawan setara air terjun gantungan.
*Peserta KKN Posko 176 Desa Kalianyar, Kawah Ijen, Bondowoso. Mahasiswa UIN KHAS Jember dan member dari Pondok Inspirasi (Pondasi).
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim