Tugujatim.id – Nusantara kaya akan suku, adat, dan budaya. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia memiliki beragam tradisi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk ritual unik untuk memanggil hujan. Ya, mengingat Indonesia termasuk negara agraris, air hujan menjadi sumber daya penting pada sektor pertanian. Tak hanya itu, kemarau panjang dapat menimbulkan krisis air bersih karena berkurangnya cadangan air di tanah.
Karena itu, masyarakat di berbagai daerah memiliki tradisi unik dalam ritual memohon turunnya hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap daerah dan suku tertentu mempunyai ritual tersendiri sesuai dengan ciri khas lokal daerahnya. Apa sajakah ritual unik memanggil hujan di Nusantara?
1. Mantu Kucing
Mantu Kucing atau Manten Kucing merupakan upacara adat yang menikahkan sepasang kucing (jantan dan betina) dengan tujuan untuk meminta hujan saat kemarau panjang melanda. Melansir dari Warisan Budaya Tak Benda Kemdikbud, tradisi mantu kucing telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Upacara adat memohon hujan yang satu ini ada di beberapa daerah, di antaranya di Malang, Blora, Pacitan, Tulungagung, dan Banyuwangi.
Melansir dari Instagram, di Tulungagung, upacara manten kucing dilakukan dengan prosesi memandikan dua kucing jantan Condromowo dan kucing betina di sumber air Bukit Cobaan. Kemudian, acara dilanjutkan dengan doa bersama dan atraksi Tiban.
Sementara di Blora, upacara mantu kucing diawali dengan mengarak kucing jantan keliling desa menggunakan becak hias, diikuti kelompok kesenian barang, rebana, dan para warga yang membawa sesaji hasil bumi. Kemudian, parade ini berakhir di rumah pemilik kucing betina. Selanjutnya sepasang kucing ini dinikahkan, lengkap dengan penghulu dan wali nikah untuk sang kucing. Terakhir, para warga memanjatkan doa dengan harapan segera turun hujan di daerah tersebut.
2. Tari Gebug Ende
Tari Gebug Ende merupakan ritual yang dilakukan ketika kemarau panjang untuk meminta hujan di Bali. Menurut artikel yang ditulis I Wayan Adi Gunarta dengan judul “Gebug Ende: Ritual Untuk Memohon Hujan”, Gebug Ende adalah tarian rakyat berupa adu ketangkasan yang dibawakan kaum laki-laki dengan membawa tongkat pemukul dari rotan dan perisai (tameng/ende) sebagai pelindung diri dan penangkis dari serangan lawan.
Asal mula Tari Gebug Ende ini secara pasti belum dapat diketahui siapa yang membawanya. Ada dugaan asal muasalnya berkaitan dengan hubungan Karangasem (Bali) dengan Lombok. Ada yang mengatakan bahwa Tari Peresean di Lombok dibawa oleh warga Karangasem yang memiliki hubungan yang erat dengan suku Sasak di Lombok. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa tari Gebug Ende di Seraya ditiru dari Tari Peresean yang ada di Lombok.
Dilansir dari Instagram event kreasi, para petarung akan saling memukul hingga berdarah-darah. Darah yang keluar dari pertarungan itulah yang diyakini dapat mendatangkan hujan.
3. Tradisi Cowongan di Banyumas
Mengutip dari artikel yang ditulis Aidatul Chusna dkk dengan judul “Struktur dan Makna dalam Ritual Memanggil Hujan (Cowongan) di Banyumas”, secara harfiah cowongan berasal dari kata cowang-coweng yang dapat diartikan sebagai corat-coret di muka cowong. Cowong adalah boneka yang dibuat dari tempurung kelapa dan diberi baju dari jerami, rumput, daun, atau kain, kemudian didandani seperti perempuan sebagai lambang bidadari. Boneka ini kemudian dicorat-coret dengan kapur sirih.
Dilansir dari Instagram event kreasi, boneka itu akan ditancapkan di batang pohon pisang raja. Kemudian para pemain akan menyanyikan syair berisi doa agar segera turun hujan. Dalam perkembangannya, ritual ini kemudian berubah menjadi seni pertunjukan yang tetap menggunakan aspek-aspek ritual memanggil hujan.
4. Tradisi Nyaluh Ondou
Melansir dari Instagram event kreasi, tradisi Nyaluh Ondou berasal dari masyarakat suku Dayak Ot Danum, Kalimantan Tengah. Ritual ini diikuti sembilan orang dengan dipimpin Damek menyeberangi Sungai Kayahan, sedangkan sisanya menunggu ritual selesai. Prosesinya dimulai dengan mengambil air dan pasir dari tepi Sungai Kahayan sambil memanjatkan doa yang dipimpin oleh Damek (pemimpin upacara).
Menurut kalteng.prokal.co, semua peserta ritual tidak diperkenankan berbicara sama sekali, bahkan berbisik-bisik sekalipun. Ada juga yang mengatakan ketika ritual berlangsung, akan banyak makhluk gaib yang berkumpul dan berdoa Kepada Sang Pencipta dan memakan seluruh persembahan.