TUBAN, Tugujatim.id – Kami ditemui layaknya teman lama yang sudah lama kenal. Akrab. Egaliter. Dan tentu saja, ger-geran. Kami datang dari Kota Malang menemui Habib Mustofa bin Muhammad Alaydrus di rumahnya di Bangilan, Kabupaten Tuban, Selasa (08/01/2024). Kita datang untuk mengundang Habib Mustofa berceramah di acara Haul KH Achmad Dachlan, Sanan, Kota Malang, pada 18 Mei mendatang.
Dalam pertemuan yang berlangsung gayeng itu, kami ngobrol dari pukul 14.30-21.30 WIB. Ada banyak hal menarik dalam silaturahim yang berlangsung sekitar tujuh jam tersebut. Salah satunya, cerita Habib Mustofa yang sering berceramah di kampung-kampung yang banyak penduduk abangan di sekitar Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Rembang.
Cerita menarik terjadi sekitar 2012 silam saat dia undang di sebuah Desa Ngraho, Bojonegoro. Biasanya, saat berceramah, Habib Mustofa spontan memanggil peserta untuk naik ke atas panggung. Saat itu, di atas panggung ada kasur kecil. Awalnya, pemuda yang dipanggil itu tidak mau duduk di atas kasur itu.
”Saya jawab, tidak-tidak, kami harus duduk sejajar, karena biasanya Nabi Muhammad SAW itu duduknya sejajar dengan para sahabat,” kata Habib Mustofa menirukan kejadian yang sudah berlangsung sekitar 11 tahun lalu itu.
Nabi Muhammad SAW yang dinobatkan sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah peradaban dunia, termasuk oleh penulis barat Michael H Hart, kata Habib Mustofa, sering menggandeng tangan sahabatnya, sebagai bentuk kasih sayang dan keakraban.
Di atas panggung, Habib Mustofa melanjutkan, dia menggandeng tangan pemuda itu. Serta memberi roti, layaknya Nabi Muhammad SAW memberi roti kepada sahabatnya yang lapar.
”Bahkan, Nabi Muhammad SAW memberi roti itu, meski Nabi Muhammad sedang lapar, lalu saya praktikkan ke pemuda itu, ternyata hal kecil itu membuka hidayah di kemudian hari,” katanya.
Singkat cerita, setelah ceramah berakhir, tuan rumah menyebut bahwa pemuda yang dipanggil ke atas panggung tersebut adalah non muslim. Bahkan, tuan rumah tersebut sempat takut menyinggung umat agama lain karena yang diajak ke atas panggung adalah non muslim.
”Saat itu dia sedang lewat, ada ramai-ramai, pemuda itu ikut menyaksikan,” imbuhnya.
Dua hari setelah itu, dia ditelepon oleh kiai yang ada di desa tersebut. Dia meminta Habib Mustofa untuk kembali ke desa tersebut karena pemuda yang diajak ke atas panggung tersebut ingin masuk Islam. Tidak hanya pemuda itu, tapi juga dia bersama dengan anak dan istrinya.
”Saat itu saya sedang ada acara di Lamongan, saya jawab, bismillah, saya minta pak kiai itu saja yang mengislamkan, karena tidak mungkin saya ke lokasi,” ucapnya.
”Mungkin pemuda tadi merasa tersentuh hatinya, karena saya hormati sedemikian rupa di atas panggung, tapi tetap hidayah tetap datangnya dari Allah SWT,” imbuhnya.
Setelah anak muda itu bersama istri dan anaknya masuk Islam, datang lagi keluarga dan tetangganya yang lain masuk Islam. Sebelumnya, mereka semua penganut kejawen atau animisme dan dinamisme.
”Tahap kedua, ada 10 orang yang masuk Islam, lalu lanjut-lanjut yang lain sampai ada sekitar satu kampung yang masuk Islam,” ucap habib yang dikenal jenaka ini.
Tidak lama setelah kejadian itu, Habib Mustofa datang lagi ke kampung itu. Dia memilih mengunjungi tempat orang pertama yang masuk Islam tersebut. Belakangan diketahui, nama pemuda itu adalah Sudar.
”Saat itu saya tidak kuat hanya bisa nangis saja, dan saya bilang agar tidak putus hubungan, nanti setiap satu bulan, kumpul di sini. Nanti yang memimpin adalah putera kiai di situ, dan ternyata sampai sekarang majelis itu masih ada, baca shalawat dan lain-lain saat kumpul,” ucap pria yang lahir di Surabaya ini.
Dalam kesempatan tersebut, Habib Mustofa berharap para pemuda agama dan semua orang untuk bisa saling menyayangi dan mempunyai sikap egaliter.
”Kalau antar orang bisa saling melayani, dan memberi kasih sayang, betapa indahnya hidup ini,” ujarnya.
Writer: Irham Thoriq
Editor: Dwi Lindawati