Oleh : Hendro Fujiono*
Tugujatim.id – Pagi ini diskusi kami diawali dengan obrolan mengenai banyak orang yang pernah kami jumpai.
Ada yang disebut pintar yang penuh imajinasi juga termotivasi dengan pencapaian-pencapaian. Entitlement-driven kami menyebutnyaa. Senang bergerak dengan cepat dan bisa dipastikan will get things done. Meski kadang tidak ragu untuk tabrak rambu sana sini.
Ada juga yang pintar, termotivasi dengan idealisme dan nilai-nilai. Value-driven kami menyebutnya. Anak-anak muda yang sebetulnya tidak begitu senang menjadi sorotan. Anak-anak muda yang tetap will get things done, tetapi mungkin bagi sebagian orang terlihat tidak seksi dan strategis.
Nah, ternyata ada juga yang biasa saja atau masih perlu suport untuk kemampuan kognitifnya. Ada yang masih berjuang keras untuk survive, ada yang termotivasi tinggi ingin seperti si value-driven dan si entitlemen-driven. Ada pula yang masih kebingungan.
Pertanyaan standard dari pemimpin bisnis yang biasanya saya temui adalah seperti ini:
“Gimana menumbuhkan lebih banyak yang pinter-pinter ini dan gimana cara ngaturnya?”
Baru pagi inilah saya mendapatkan pertanyaan yang berbeda dari sahabat saya Salman Subakat, CEO PT. Paragon Technology and Innovation. Kami biasa ngobrol virtual sambil ngopi di pagi hari.
“Ini kalau dicampur, bagaimana pembagian perannya ya agar optimal?” begitu pertanyaannya.
Pertanyaan yang didasari filosofi – no one left behind.
Dan, memang begitulah realitasnya. Anak bangsa sangat beragam kondisinya. Semua harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk terus berkembang.
Di suatu kesempatan, saya mendengarkan langsung bahwa program professional development yang benar-benar dikurasi dan dipikirkan secara matang dalam sebuah perusahaan, mungkin hanya akan menyentuh 4-11 persen of the top of the pyramid.
Padahal di sisi lain banyak bos dan atasan mengeluhkan betapa tidak capable-nya atau minimnya kemampuan mengambil keputusan dari para stafnya. Sebuah kontradiksi antara harapan dan fokus yang dilakukan.
Solusi standar dan pragmatis bagi pemimpin? Tentu menentukan standar dan memfilter siapa saja yang bisa masuk untuk dibina. Lalu diberikan pula standar yang lebih tinggi untuk menentukan siapa yang dapat mendapatkan promosi dan belajar.
Bangsa ini tidak bisa hidup dengan solusi pragmatis. Caranya dengan memahami bahwa selain standar, dibutuhkan juga pembagian peran yang memberdayakan dan menumbuhkan.
Karena itu kita perlu ber refleksi, apakah kita sudah menjadi pemimpin yang memberdayakan? Atau masih berkutat menjadi si Raja Standard.
*Executive Coach GlobalDISC Master Trainer Perth, Western Australia