Tugujatim.id – Jika diamati, kehadiran perempuan di era Kolonial Belanda sangatlah jauh dari kata terhormat. Terutama di kota besar seperti Batavia yang kini menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia. Sebelum melewati sejarah panjang, ibu kota Hindia Belanda itu, selain sebagai kantor pusat Kongsi Dagang Hindia Timur atau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), tempat tersebut juga sebagai menetapnya para pejabat Belanda yang menghabiskan waktu dengan ‘Nyai’ pribumi tanpa ikatan pernikahan alias menjadi ‘gundik’.
Jadi Perhatian Gubernur Jenderal Willem Daendels
Pada 1808, Louis Napoleon, penguasa Belanda mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia hingga awal tahun 1800-an Daendels pun berkunjung perdana di Batavia. Daendels yang kemudian hari dijuluki “Si Tangan Besi” ini terkejut ketika mendapat kenyataan pahit yakni maraknya prostitusi nyai pribumi atau biasa dikenal pergundikan.
Menyadari meluasnya tindakan kurang moralitas tersebut, Daendels yang diserahi amanat oleh Napoleon segera mengamankan Jawa dari Inggris dengan melipatgandakan kedatangan orang Eropa ke Batavia. Dirinya khawatir melihat kenyataan rendahnya moralitas warga negaranya yang dapat menjadi faktor kegagalan bila datang bala tentara inggris menyerang.
Namun sayang usaha tersebut gagal dikarenakan waktu dan akomodasi. Banyak gadis Eropa meninggal karena lamanya pelayaran dari Eropa ke Batavia.
Tapi, alangkah terkejutnya lagi seorang Daendels yang mengambil langkah alternatif dengan membuka penerimaan tentara malah melihat banyaknya pelamar tentara yang merupakan anak-anak Eurasia (hasil dari ayah Eropa & perempuan yang dipiara “tuan putih kolonial”, red).
Menindaklanjuti hal tersebut, Daendels pun mengesahkan secara hukum anak-anak Eurasia dan akhirnya diakui resmi oleh ayah Eropanya dengan harapan setia kepadanya.
Penulis sekaligus publisis kelahiran Leiden, Reggie Baay pernah mengulik tentang sejarah nenek moyang Indies, yaitu gundik oleh perempuan pribumi bagi orang Eropa bahkan sebagaimana dilansir dari Republika Reggie dalam sebuah wawancara beberapa tahun silam, mengakui situasi itu dengan sikap terbuka. Meski dia orang Belanda dan juga merupakan keturunan “nyai”, mengatakan mulai abad ke-18 M Batavia pada saat itu memang sudah layak disebut sebagai kota gundik dan budak.