MALANG – Tim Bantuan Hukum Aliansi Malang Melawan menyebutkan bahwa aksi penangkapan oleh polisi terhadap demonstran aksi menolak UU Cipta Kerja, Kamis (8/10) lalu, melanggar hukum. Mereka menyebut terdapat banyak pengakuan demonstran ditangkap secara represif dengan kekerasan.
Hal ini diungkapkan Tim Bantuan Hukum Malang Bersatu (LBH Malang 19, LBH Surabaya Pos Malang, dan LBH Neratja Justitia melalui keterangan tertulisnya, Senin (12/10).
Mereka menyebut, penangkapan terhadap demonstran disertai dengan tindakan yang mereka sebut assesive use a force (eighenrechting) yang melanggar hukum dan prosedur penangkapan. Mulai memukul dengan tongkat, menendang wajah, kepala, tangan, kaki, dan tubuh demonstran.
Baca Juga: WHO: 10 Persen Penduduk Dunia Telah Terinfeksi Virus Corona
“Selain itu, penangkapan masa aksi di bawah umur juga tidak ditangani dengan prinsip restorative justice secara serius oleh Polisi,” ungkap Daniel Siagian dari LBH Surabaya Pos Malang.
Hal ini didapatkan dari pengakuan sejumlah demonstran yang ditangkap kemarin. Mereka mengaku mendapat perlakuan kekerasan hingga menyebabkan luka lebam dan memar di beberapa bagian tubuh. Ada juga yang mengalami luka di kepala. Sebagian dilarikan ke rumah sakit.
“Padahal secara normatif, kebebasan berpendapat di muka umum dilindungi undang-undang,” tegasnya.
Adapun, aturan yang dimaksud, yakni merujuk pada UU No. 9/1998 tentang Kebebasan Berpendapat. Di muka umum, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: melindungi HAM, menghargai asas legalitas, prinsip praduga tak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan. Serta Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Kemudian, Perkap Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Yakni menjelaskan secara umum bahwa pelaku yang taat diberikan perlindungan hukum dan pelaku anarkis ditindak tegas dengan cara-cara manusiawi (tidak dianiaya, diseret, dilecehkan dan sebagainya).
Baca Juga: 14 Juta Ton Sampah Plastik Mengendap di Dasar Lautan, Studi Membuktikan
Dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif. Misalnya tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul.
Adapun, dari sekian 129 demonstran yang ditangkap sebanyak 17 orang merupakan anak di bawah umur, 5 orang perempuan dan sisanya merupakan mahasiswa dan warga sekitar.
Aliansi Malang Melawan Tuding Tindakan Represif Kepolisian Atasi Demo UU Cipta Melanggar HAM
Terpisah, Prasetya, perwakilan demonstran dari Aliansi Malang Melawan menuturkan hal serupa bahwa tindakan represif yang dilakukan polisi tidak dapat dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia.
Peraturan lain terkait pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas). Aturan yang kerap disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif.
Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur.
“Termasuk melarang hal rinci seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang,” jelasnya.
Baca Juga: Bahaya Kebiasaan Memukul Anak yang Seharusnya Tak Dilakukan
Di samping larangan, lanjut dia, Protap juga memuat kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. “Jadi, pada prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran. Kebebasan menyatakan pendapat dilindungi oleh konstitusi,” imbuhnya.
Dari sekian pertimbangan tersebut, Aliansi Malang Melawan dalam rilisnya menyatakakan sikapnya, mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi Tolak Omnibus Law.
Lalu, mereka Menuntut Polresta Malang Kota untuk bertanggung jawab penuh dalam proses pemulihan korban kekerasan aparat terhadap massa aksi secara medis maupun psikis.
”Kami juga menuntut dibebaskannya seluruh massa aksi yang ditahan di Polresta Malang Kota, dan massa aksi seluruh Indonesia tanpa syarat,” pungkasnya.
Polisi Bantah Lakukan Kekerasan dan Sudah Sesuai Prosedur
Menanggapi hal tersebut, Kapolresta Malang Kota Kombes Pol Leonardus Simarmata menyangkal tudingan tindakan represif dari LBH Malang Bersatu tersebut. Leo menuturkan, pihaknya sudah melakukan penanganan demo sesuai prosedur.
”Iya, itu juga sudah saya jawab. Bahwa kita sudah sesuai prosedur, sesuai tahapan penanganan demo anarkis. Penanganan kami sudah sesuai protap dan aturan SOP Polri,” terang Leo ketika dikonfirmasi terpisah. (azm/gg)