Oleh: Pietra Widiadi, Founder Pendopo_Kembangkopi, Praktisi Sociolog, tinggal di Lereng Gunung Kawi, Kabupaten Malang
MALANG, Tugujatim.id – Ken Angrok, nama ini muncul dari Pararaton, kemudian muncul pula dalam Negarakertagama, seperti yang disampaikan oleh seorang Dwi Cahyono, sejarawan Malang. Angrok, diartikan sebagai sebuah hal yang luar biasa, yaitu menggambarkan semangat tentang sebuah perubahan, secara harafiah bisa diartikan sebagai “menyerang dengan mati-matian” (di balik nama Ken Angrok, Risa Herdahita Putri, Historia, 07 September 2018) atau saya terjemahkan menjadi “menyerang dengan penuh semangat, atau penyerbuan yang menggelora, atau pantang menyerah”.
Dari catatan-catatan para sejarahwan, yang merujuk pada Pararaton, tepatnya terjemahan Pararaton kemudian difokuskan pada sebuah peristiwa yang terjadi pada 1222. Sebuah peristiwa yang mungkin banyak diketahui oleh khalayak ramai, yaitu “pertempuran antara Ken Angrok dengan Raja yang berkuasa di Kerajaan Panjalu, dengan ibu kota di Daha (baca Kediri), yang disebut sebagai Dandang Gendis, atau Sri Kertarajasa” di sebuah tempat di Ngantang, yang disebut dengan Ganter (Dwi Cahyono, 2020), atau juga disebut dengan Perang di Ganter. Sebuah penaklukan yang dianggap luar biasa, yang dilakukan oleh brandal, yang jago strategi perang, punya sifat blak-blakan tanpa tending aling-aling, dikenal berani, disegani, dan egaliter.
Profil ini kemudian menjadi sebuah stereotipe dari kelompok masayarakat sub-budaya Jawa (baca Jawa Timuran) yang disebut dengan budaya Arek (baca Pietra Widiadi, Budaya Arek: Aku Arek Karangbulak, Surabaya Post, 29 Mei 1993). Wilayah persebaran budaya Arek ini, adalah kawasan di mana Ken Angrok yang mendapat gelar Sri Rangga Rajasa Batara Amurwabhumi dan berkuasa, yang merupakan daerah penyatuan Panjalu dan Jenggala.
Kawasan itu meliputi daerah yang secara tipikal seperti sikap egaliter, bengal, tak kenal menyerah dan memiliki watak berangasan (baca berani mengambil risiko, meski kemudian ada yang menyebut bondo nekat atau Bonek). Daerah-daerah itu berada di sisi utara dan timur Gunung Kawi, yaitu antara lain Jombang, Mojokerto, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, dan sebagian Malang, tentu secara budaya tidak sepresisi wilayah administrasi pemerintah daerah tersebut.
Gambaran ini, secara sosiologis ingin menggambarkan, apa kaitan tragedi Kanjuruhan, pada tgl 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan. Kanjuruhan adalah sebuah daerah yang dianggap merupakan Malang pada abad ke-6, yang dipimpin oleh seorang raja terkenal dengan nama Gajayana. Jadi menyimak Malang (baca Malang Raya, yang meliputi Kabupaten Malang dan Kota Malang), seperti terpadunya sebuah relasi berkreasi di Stadion Gajayana, nama stadion di Kota Malang dan Kanjuruhan, di Kabupaten Malang.
Perseteruan Bonex (pendukung Persebaya) dengan Aremania (pendukung Arema), adalah sebuah rivalitas kesemangatan untuk membuktikan yang terbaik. Bukan melakukan anarkisme, tapi mencapai prestasi dengan sikap yang kesedreajadan dalam memperoleh prestasi, sebagai bentuk dari egalitarian dari bagian masyarakat dari sub-budaya Arek. Baik Malang Raya dan Surabaya adalah masyarakat penyandang budaya Arek, yaitu memiliki sikap egaliter, penuh semangat pantang menyerah. Ini secara sosiologis bukan memberikan cap bahwa ada upaya untuk menghabisi, tetapi semangat untuk mendapatkan prestasi itu dengan tak kenal menyerah.
Kita melihat rivalitas yang ada dalam dunia sepak bola modern Indonesia, tidak lepas dari soal kapitalisasi modal, ada industri olahraga (baca hiburan) melalui sepak bola, ada rating pertunjukan di tivi dengan daya tarik dari sepak bola. Ini akan mendatangkan banyak sponsor, artinya pendapatan yang berlimpah. Jadi rating penting karena soal pendapatan, jadi dunia olahraga modern tidak akan lepas dari wajah sebuah kepentingan kapital.
Dari kepentingan kapital itu, rivalitas dipupuk, disemai menjadi finatisme primordial yang akan menggairahkan pertunjukan. Tentu dalam hal ini, sepak bola tanpa penonton seperti tanpa bumbu rasa, hambar jadinya. Sportivitas semangat tanpa pantang menyerah harusnya adalah sebuah prestasi, tidak penting kalah atau menang. Sama halnya sebuah tontonan sepak bola bagi pemilik modal. Kalah atau menang, tidak ada bedanya karena jerih payah sudah dinikmati. Namun bagi pendukung, itu seperti kepedihan sesaat yang seperti harus diobati.
Malam itu, semangat dikobarkan, semangat menyala melawan dengan ujaran pantang menyerah dianggap sebuah pemenuhan eksistensi. Meski demikian, kemudian muncul ujaran berani mati, dianggap hal yang layak. Dalam hal ini bukan eksistensi para pendukung, tapi eksistensi para “pemilik modal itu”. Di mana, itu harus dilampiaskan pada pertandingan berikutnya. Itulah semangat yang harus dipertahankan, supaya kalah menang kemudian, hanya sebuah angka, dan beda dengan pendapatan.
Perjuangan Persebaya dan Arema di laga malam itu, yang terjadi pada 1 Oktober 2022, adalah elan pantang menyerah yang dilakukan oleh generasi muda dari Ken Angrok, sampai saat peluit ditiup pada menit ke-90, di mana wasit mengakhiri sebuah pertandingan. Pantang menyerah, keperkasaan dan sportivitas yang egaliter ditunjukkan dan perlawanan pada pertandingan itu telah usai, bukan soal kemenangan tetapi soal kemampuan yang ditunjukkan yang mengandung semangat pantang menyerah.
Kegembiaraan nampaknya akan jadi capaian, namun kemudian berubah jadi sebagai petaka, yaitu tragedi Kanjuruhan. Sebanyak 125 nyawa para penerus Ken Angrok, dalam tradisi Arek termasuk 2 anggota kepolisian, melayang. Jabat tangan pada pemain Arema dengan pendukungnya adalah tanda memberikan apresiasi prestasi karena sudah pantang menyerah, bukan soal kekalahan dalam adu bola. Artinya, kekalahan adalah hal yang wajar, dari sebuah derajat keegalitarian dari bagian dari budaya Arek yang dibanggakan.
Sekejap, menjelang pukul 22.00, mendadak laga berubah sepertinya sebuah huru-hara dan kericuhan antar para pendukung Persebaya dan Arema, bagi yang tidak tahu bahwa pertandingan ini, tanpa penonton dari pendukung Persebaya. Padahal sebuah keonaran yang kemudian nampak seperti bentrok Aremania dengan Aparat Keamanan!
Tentu ini, benar-benar sebuah tragedi sepak bola Indonesia yang mendunia, yang menyesakkan di mana “kerusuhan” terjadi seperti sebuah kelalaian dari para penjaga. Kejadian itu, kurang dari semalam menjatuhkan banyak korban. Kerusakan, kehancuran, kematian sekejap saja terjadi. Korban adalah para penonton yang ingin bergembira, namun yang diperoleh adalah tragedi, kesedihan, dan penyesalan.
Tragedi itu, kemudian disesalkan dan simpati berdatangan, termasuk dari rival Aremania, yaitu Bonex. Secara bersama-sama dua saudara dari penerus Angrok yang disebut Arek ini, menggelar simpati dan keprihatinan, menyatakan duka tak terhingga. Rivalitas, hanya terjadi di medan laga, di hamamparan hijau lapangan bola, yang tidak di bawa keluar stadion. Ini lah yang disebut dengan budaya Arek, kesederajadan.
Seperti halnya kemenangan Angrok di Ganter, menyatukan dua saudara yang memiliki rivalitas. Arek itu, bukan hanya Surayaba, tapi juga Kera Ngalam (arek Malang) yang menjadi bagian dari kekuasaan Angrok. Semangat pantang menyerah yang diturunkan dari sang Rajasa, di mana egaliter adalah bentuk hubungan antar sesame anak Angrok dipertunjukkan.