KEDIRI, Tugujatim.id – “Sudah boleh pulang.” Memang kata-kata dari dokter seperti itu adalah kata indah bagaikan puisi cinta bagi penghuni di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang dijadikan pemerintah sebagai tempat isolasi terpusat (isoter) pasien Covid-19 di Kediri, termasuk saya. Namun, catatan saya kali ini tentang perempuan dengan tinggi sekitar 160 cm bernama Ema Maulidia. Penghuni isoter pertama itu menarik saya untuk menulis.
Raut wajah gadis berusia 19 tahun itu menunjukkan kebahagiaan setelah menerima notifikasi pesan WhatsApp dari dokter Puskesmas Ngasem yang bertuliskan “sudah boleh pulang, Mbak”. Penantian selama 14 hari di gedung isoter ini, akhirnya dia dapat menikmati segarnya udara seperti sebelumnya. Ya, Ema Maulidia, penghuni pertama isoter yang berada di Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri.
Ema, begitu panggilan akrabnya, merupakan lulusan perawat di sekolah menengah kejuruan (SMK) yang ada di Malang. Saat ini dia bekerja merawat anak balita di salah satu rumah pejabat Pemerintah Kabupaten Kediri. Apesnya, masih baru bekerja 3 minggu, dia harus dikirim ke isoter karena terpapar Covid setelah beberapa hari mengalami batuk.

Gadis keturunan Suku Banjar itu selama 3 hari mendiami kamar isolasi sebelum pasien yang lain mulai berdatangan. Selama dia menjadi penghuni pertama, untuk mengusir sepi dia hanya duduk bersandar di depan kamar hingga kantuk membawa dia ke kamar bernomor 2b. Tanpa ada rasa takut dan mengeluh yang keluar dari raut wajahnya, gadis itu menjalani karantina sendirian.
“Sempat padam listrik pagi hingga malam, petugasnya yang bingung mencari saya. Tapi, saya biasa saja,” ungkapnya dengan senyuman tipis di bibirnya.
Kalau dilihat memang bangunan gedung SKB tersebut masih dalam kondisi yang masih bagus dan rapi. Isoter tersebut adalah bangunan yang masih baru berdiri karena merupakan pindahan SKB yang tergusur karena pembangunan Bandara Kediri.
Lokasi karantina pasien Covid tersebut juga tergolong nyaman. Sebab, setiap kamar tempat tidurnya masih baru dan kamar mandi berada di setiap kamar. Bahkan, kamar yang berkapasitas 2 orang tersebut dilengkapi AC. Meski begitu, suasana di gedung 3 lantai tersebut terbilang sepi, para penjaga berada di balik gedung. Hal itu membuat orang sedikit takut jika nyalinya agak ciut. Beruntung, gadis itu memiliki nyali yang pemberani. Saat saya tanya Ema hanya menjawab.
“Biasa saja, katanya saya tidak boleh mikir, ya saya tidak mikir. Biasanya ditemeni satpam, karena satpamnya kasihan sama saya,” kata Ema.
Setelah 3 hari, kesendiriannya sudah selesai karena ternyata teman satu rumah tempat dia bekerja ikut terpapar dan menyusulnya. Jadi, kesepiannya sedikit terobati. Semakin lama berdatangan pasien baru.
Dan 5 hari dilaluinya, semakin lama wajahnya semakin meredup, rasa bosan, gelisah memulai menempel di pikirannya. Susah tidur menjadi masalah tiap harinya. Apalagi, hasil tes PCR yang dilakukan masih menunjukkan hasil tanda positif. Jadi, dia harus rela menambah 5 hari lagi.
Untuk mengalihkan rasa bosan dan gelisah, dia bermain game mulai mobile legend hingga kuis yang mengasah otaknya. Tapi, masalah baru menghantui pikirannya, pekerjaan merawat anak balita di tempat kerjanya sudah memiliki pengganti. Semakin suramlah wajah perempuan pecandu kopi itu.
Saya dan Pak Anang salah satu pasien sering menggodanya supaya dapat mencairkan suasana hatinya yang terancam kehilangan pekerjaan tersebut. Tes PCR ke-3 kembali dilakukan, tapi hasilnya tetap positif.
“Peh, masak harus di sini terus, pekerjaan saya gimana,” kata-kata itu sering keluar di mulutnya.
Namun, setelah menunggu lagi 2 hari tepatnya Sabtu (19/02/2022), petugas puskemas memberi kabar yang dapat membuat hati gadis yang juga pencinta motor itu sejuk. Senyumnya mulai kembali melebar. Kata yang bermakna bahwa dia sudah dapat keluar dari lokasi karantina membuat dirinya bergegas mandi dan mengemas pakaian di dalam koper miliknya.
“Mbak sudah 14 hari, meski tesnya masih positif sudah boleh pulang karena virusnya sudah tidak menular,” ungkap sang dokter.
Dengan dijemput mobil bersirene memilik Puskesmas Ngasem, Ema bagaikan sinderela yang dijemput kereta kuda untuk kembali menyusun kehidupan indahnya.
“Akhirnya bisa pulang juga,” ujarnya dengan riang menyalami teman yang masih berada di isoter.