JAMBI, Tugujatim.id — Selama sepekan lebaran 1443 Hijriah/2022 Masehi, jumlah pengunjung Kompleks Percandian Muarajambi di Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, melonjak drastis. Sedikitnya 25 ribu orang datang dari Kota Jambi dan daerah lain.
Abdul Haviz, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia Provinsi Jambi, mengatakan berdasarkan hasil penjualan tiket masuk, sedikitnya 25 ribu orang mendatangi kompleks percandian terluas di kawasan Asia Tenggara itu selama enam hari lebaran.
“Mayoritas pengunjung warga lokal Kabupaten Muaro Jambi yang sedang mudik. Selebihnya warga Kota Jambi dan dari daerah lain di Provinsi Jambi, serta dari lain di luar Jambi,” kata Ahok, panggilan akrab Abdul Haviz, kepada saya, Jumat malam (20/5/2022).
Wisatawan, menurut Ahok, mengalami euforia lebaran setelah dua lebaran sebelumnya terasa garing akibat kemunculan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Lonjakan jumlah ini menandakan dunia pariwisata Jambi pelan-pelan bergairah kembali setelah sempat terpuruk dalam dua tahun belakangan meski momentum puncak keramaian pengunjung hanya terlihat di masa lebaran.
Kata dia, Kompleks Percandian Muarajambi masih ditutup di hari pertama lebaran, Senin, 2 Mei 2022. Begitu dibuka di hari kedua (Selasa, 3 Mei), sebanyak 3.500 yang datang. Jumlahnya bertambah lagi pada H+3 lebaran (Rabu, 4 Mei) dan H+4 lebaran (Kamis, 5 Mei), masing-masing sebanyak 5.850 dan 6.130 orang. Hingga Jumat-Minggu, 6-8 Mei, jumlah total pengunjung menembus angka lebih dari 25 ribu orang.
Saking banyaknya pengunjung, terjadi kemacetan di jalan menuju kawasan percandian. Untung petugas kepolisian bersama personel TNI dan petugas dinas pemerintah daerah, serta tenaga relawan sigap mengatur arus lalu lintas sehingga kemacetan cepat terurai. Bahkan, Kepala Kepolisian Resor Muaro Jambi Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Yuyan Priatmaja sampai turun langsung untuk memimpin pengaturan lalu lintas dan keamanan di dalam kompleks percandian dan sekitarnya.
Secara umum, para pengunjung terkonsentrasi di lokasi Candi Gumpung dan Candi Tinggi. Wajar, kata Ahok, kedua candi yang bersebelahan ini merupakan dua candi pertama di Kompleks Percandian Muarajambi yang dipugar pada 1975 oleh Pemerintah Indonesia.
“Di situ pula loket penjualan tiket masuknya berada. Walau rata-rata jumlah terbanyak pengunjung hanya terjadi saat lebaran, ya tetap saja patut disyukuri,” kata Ahok.
Kompleks Percandian Muarajambi semakin ramai dikunjungi sejak Jembatan Batanghari II selesai dibangun dan digunakan pada 2008 sehingga memangkas jarak dan waktu tempuh dari pusat Kota Jambi.
Sebelumnya, Kompleks Percandian Muarajambi hanya bisa diakses dari Aurduri sejauh sekitar 40-45 kilometer dengan durasi sekitar 1,5 jam berkendara. Sedangkan melewati Jembatan Batanghari II jaraknya terpangkas jadi sekitar 26 kilometer dengan waktu tempuh 30-45 menit.
Selain itu, kepopulerannya meningkat seturut banyaknya kegiatan seni dan kebudayaan di sana yang diberitakan media massa dan disebarluaskan melalui media sosial.
Walhasil, kini, Kompleks Percandian Muarajambi menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Jambi, terutama di masa lebaran. Apalagi tiket masuk cuma Rp 5.000 per orang dewasa dan Rp 3 ribu untuk anak-anak, serta sewa sepeda gowes hanya Rp 10 ribu.
Di masa lebaran, sangat disarankan mengunjungi Kompleks Percandian Muarajambi di pagi hari, saat udara sangat segar, suhu belum panas, dan pengunjung masih sedikit sehingga bisa leluasa menikmati suasana dan berkegiatan di sana. Makin siang makin panas, tapi justru pengunjung datang berduyun-duyun, seperti yang saya lihat pada Sabtu sore, 7 Mei lalu.
Saat itu saya datang bersama dua kawan, Ramond dan Hidayat. Saya diajak mengunjungi lokasi Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, serta mengunjungi museum di lokasi Candi Gumpung. Suasana di Candi Kotomahligai dan Candi Kedaton sangat sepi dan hening, serta lingkungannya sangat bersih, kontras dengan kondisi di lokasi Candi Gumpung.
Karena datangnya kesorean, saya hanya sebentar melihat keramaian di lokasi Candi Gumpung. Pengunjung berangsung-angsur berkurang. Para pedagang dan penjual jasa sewa tikar mulai memberesi lapaknya.
Namun, satu hal yang membuat saya amat prihatin, yakni sampah berserakan di mana-mana, baik di lokasi Candi Gumpung maupun di Candi Tinggi. Sepintas terlihat kebanyakan sampah yang berserakan berupa plastik kresek, botol minuman, dan wadah makanan styrofoam (gabus sintetis). Pemandangan sampah ini sungguh merusak penampilan menawan Candi Gumpung dan keasrian lingkungannya. Saya yang terlanjur takjub dan prihatin sampai lupa memotret pemandangan tak enak tersebut.
Dengan menggunakan bahasa lokal Jambi, seorang ibu pedagang merespons keprihatinan saya. Dia mengaku turut kesal dan malu. Dia bukan tak tahu pentingnya kebersihan, terlebih kebersihan sangat diajarkan dalam agama yang dianutnya.
Makanya, dia selalu rajin membersihkan lokasi tempatnya berdagang tiap kali pembeli pulang. Tikar-tikar yang disewakannya langsung dilipat rapi. “Saya selalu bersihkan tempat dagang saya. Kalau di luar itu, ya terserah orang-orang itu,” kata si ibu.
Dia bilang, sesama pedagang saling mengingatkan untuk bersama-sama menjaga kebersihan. Apalagi mereka rutin dibina oleh pengelola candi. Dia sangat sadar bahwa jika tempat jualan jorok, mereka sendiri yang rugi. Masalahnya, menurut si ibu, banyak pengunjung yang kesadarannya untuk menjaga kebersihan masih rendah dan ada pula yang terpaksa buang sampah seenaknya karena ketiadaan tempat sampah.
Ahok punya pendapat berbeda. Sampah jadi masalah dilematis sejak lama. Berdasarkan regulasinya, pengelolaan Kompleks Percandian Muarajambi ditangani oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara formal BPCB menamakannya Situs Kawasan Percandian Muarajambi.
Namun, yang bertugas mengurusi sampahnya adalah Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi. Sedangkan tiket masuk ke Kompleks Percandian Muarajambi dilakukan Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga pemerintah daerah setempat.
“Nah,” ujar Ahok, “instansi-instansi itu tidak solid dan koordinatif sehingga manajemen pengunjung tidak berjalan mulus. Seharusnya, saat mau lebaran, sudah diantisipasi betul lonjakan pengunjung. Umumnya kesadaran pengunjung tentang sampah sangat rendah. Karena antisipasinya jelek, volume sampah sangat banyak dan berserakan di mana-mana.”
Jeleknya koordinasi tersebut membuat tong-tong sampah jadi percuma. Dengan agak berkelakar Ahok mengatakan, beribu kali pun disediakan tong sampah tetap saja mubazir karena sampah-sampahnya tidak dibawa keluar oleh dinas berwenang sampai akhirnya justru petugas BPCB yang terpaksa membersihkan sampah-sampah.
Karena itu, sebagai pemandu wisata, Ahok sering menyarankan tamu-tamunya untuk mengunjungi Kompleks Percandian Muarajambi di luar lebaran agar bisa lebih merasa nyaman. Jika pun tetap ingin pelesiran di masa lebaran, Ahok biasanya merekomendasikan kepada tamu-tamunya untuk mengunjungi lokasi candi lain seperti Candi Kotomahligai dan Candi Kedaton.
“Candi Tinggi dan Candi Gumpung itu memang paling populer. Kalau turis asing biasanya lebih suka (mengunjungi) candi-candi yang tidak mainstream di sini dan mereka suka datang di hari-hari biasa supaya lebih nyaman dan leluasa memuaskan rasa keingintahuan mereka yang sangat besar,” kata Ahok.
Ramond juga sangat prihatin dan merasa malu sebagai putra daerah Jambi. Padahal, menurut Ramond, pengelola Kompleks Percandian Muarajambi pasti telah keseringan mengingatkan pengunjung untuk menjaga kebersihan dengan tidak sembarangan membuang sampah. Ramond tak bisa sepenuhnya menyalahkan pengunjung begitu saja.
Sebaliknya, Ramond mengingatkan pengelola candi untuk membenahi beberapa fasilitas, seperti memperluas areal parkir dan memperbanyak tempat sampah. Untuk sementara, tempat parkir belum bisa diperluas karena sebagian besar lahan dalam Kompleks Percandian Muarajambi dikuasai masyarakat dan belum tampak upaya pemerintah melakukan pembebasan lahan.
Sedangkan perihal sampah, kata Ramond, jumlah tong sampah sangat sedikit dan lokasinya berjauhan sehingga menyulitkan pengunjung yang ingin buang sampah, apalagi jika pengunjungnya pemalas.
Ia menyarankan, bila perlu papan larangan membuang sampah diperbanyak pula. Papan larangan ditulis besar agar mencolok dibaca, tapi didesain menarik dan kekinian, bukan sebuah papan peringatan yang kaku dan seram. (Abdi Purnomo)
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim