SENGETI, Tugujatim.id — Rasanya baru saja meninggalkan tempat tinggal saya di Kota Malang. Berangkat pada 30 April, saya tiba di Kota Palembang pada Kamis malam (05/05/2022). Hingga akhirnya sempat bertemu transmigran asal Gadang, Kota Malang, di Musi Banyuasin.
Saya menginap semalam di rumah orang tua Bubun Kurniadi, anggota AJI Palembang, yang berada di perbatasan antara wilayah Kota Palembang (Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan) dan wilayah Kabupaten Banyuasin.
Saya meninggalkan Palembang menjelang siang di hari Jumat (06/05/2022). Ini hari ketujuh dan kota tujuan saya berikutnya ialah Kota Jambi, Ibu Kota Provinsi Jambi. Saya harus melewati wilayah Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) sebelum tiba di Jambi.
Semula, saya menyangka Banyuasin sama dengan Muba karena kemiripan nama. Jujur, saya lebih akrab mengenal nama Muba dibanding Banyuasin dan baru sadar sewaktu saya berhenti di depan gapura pintu masuk Kota Pangkalan Balai, Ibu Kota Kabupaten Banyuasin.
Berhenti sejenak, saya membuka Google dan mengetahui Kabupaten Banyuasin terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan, hasil pemisahan dari Kabupaten Muba.
Jadi, terbuktilah, jurnalis bukanlah orang yang serbatahu atau mengetahui segala informasi sebagaimana anggapan banyak orang awam. Lebih baik jadi wartawan yang jujur mengaku tidak tahu, ketimbang jadi wartawan yang sok tahu.
Berdasarkan petunjuk Google Maps, Palembang dan Jambi terpaut jarak 278 kilometer.Bagi saya, jarak 278 kilometer terasa pendek karena saya pernah menempuh rute lebih panjang, seperti dari Pekalongan di Provinsi Jawa Tengah, sampai ke Pelabuhan Merak di Kota Cilegon, Provinsi Banten, yang berjarak 469 kilometer—berdasarkan panduan Google Maps dan memakan waktu 19 jam dalam satu hari, yakni hari pertama Idul Fitri, 1 Syawal 1443 Hijriah atau 2 Mei 2022 Masehi.
Bukan berarti saya meremehkan jarak Palembang-Jambi. Saya cuma ingin memotivasi atau menyemangati diri sendiri lantaran saya memang bersepeda motor seorang diri. Saya sepenuhnya menyadari tiap rute punya karakteristik khas dan menantang yang secara umum amat menguji kekuatan fisik dan mental, serta pikiran.
Alhamdulillah, saya belum pernah mengalami kendala serius selama perjalanan. Mesin sepeda motor Honda Supra X 125D pabrikan 2007 yang saya tunggangi tetap tangguh hingga hari ketujuh.
Banyak pengalaman dan kesan baru saya dapatkan sepanjang perjalanan. Salah satunya saat melintasi wilayah Banyuasin sampai memasuki wilayah Muba, tatkala suhu udara sedang panas-panasnya. Paparan sinar matahari membuat saya lebih banyak melambatkan laju sepeda motor.
Beberapa kali saya harus berhenti untuk sekadar meneguk air mineral hingga akhirnya saya beristirahat selama satu jam di Warung Nasi Arema Gadang. Warung ini berada di tepi Jalan Lintas Timur Sumatera (Jalintimsum) Palembang-Jambi, Kilometer 140, tepatnya di Desa Srigunung, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Muba.
Pak Paimin sedang menjerang air saat saya menjumpainya di warung. Pria berusia 65 tahun ini lekas mengenali pelat nomor atau TNKB (tanda nomor kendaraan bermotor) yang berawalan huruf N, yaitu kode wilayah pendaftaran kendaraan bermotor dari bekas Karesidenan Malang (Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, dan Kabupaten Lumajang), Provinsi Jawa Timur.
Sangat wajar Paimin cepat mengenalinya karena dia berasal dari Kota Malang. Maka, kami cepat akrab dan terlibat obrolan yang gayeng. Sesekali terlihat raut sedih wajah Paimin dan bicaranya lirih saat mengisahkan dirinya menjadi seorang transmigran.
Paimin bekerja serabutan selama jadi warga Kota Malang. Jumlah penghasilannya kecil dan tak menentu dikantongi sehingga dia acap berutang untuk mencukupi kebutuhan dapur. Kemiskinan inilah yang mendorong dirinya bertekad mengubah nasib dengan cara mengikuti program transmigrasi pada 1981.
Maka, singkat cerita, dia memboyong istri dan tiga anaknya yang masih kecil—(masing-masing berusia satu, dua, dan lima tahun)—untuk meninggalkan tempat tinggalnya di Gang 17 Jalan Raya Gadang, Kelurahan Gadang, Kecamatan Sukun. Rumahnya sejajar dengan rumah jagal sapi yang sekarang bernama Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Malang.
“Omahku jejer (rumahku sejajar) tempat jagal sapi di Gadang. Sebenarnya saya sangat sedih meninggalkan Malang. Tapi mau gimana lagi, yang penting bagi saya ada perubahan nasib untuk saya dan keluarga saya,” kata Paimin.
Keluarga Paimin diberangkatkan dengan bus bersama empat keluarga lain yang berasal dari wilayah selatan Kabupaten Malang ke Desa C4 Blok B, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Muba. Lokasi transmigran ini berjarak sekitar dua kilometer dari Jalintimsum. Kampung transmigran ini masih dikelilingi belantara.
Mereka disatukan bersama transmigran lain. Total ada sekitar 100 keluarga saat itu. Mayoritas transmigran berasal dari sejumlah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, semisal Kendal, Banjarnegara, Banyumas, Klaten, dan Sragen.
Tiap transmigran mendapat lahan dua hektare, ditambah peralatan memasak dan bantuan beras setengah kuintal per keluarga.
Kerja keras dan ketekunan mengubah nasib Paimin dan transmigran lainnya. Merasa sudah mapan, pada tahun 2001 Paimin membeli lahan bersemak seluas 2 ribu meter persegi seharga Rp4 juta di pinggir Jalintimsum, yang kini jadi lokasi tempat tinggalnya. Butuh waktu cukup lama untuk membersihkan semak dan pepohonan sampai dia bisa membangun sebuah rumah berpapan.
“Dulu, kata Paimin, Jalintimsum ini masih makadam. Ke Pasar Lilin saja rasanya enggak nyampe-nyampe karena jalannya berbatu-batu dan berlubang-lubang. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Kalau sekarang ya sudah mulus seperti yang Sampean lewati.”
Kehidupan Paimin di Desa Srigunung terus membaik berkat berkebun kelapa sawit dan membuka warung makan. Dia pun mampu membuatkan rumah untuk ketiga anaknya di lahan yang sama. Dari ketiga anaknya, dia mendapat tujuh cucu dan cucunya menghasilkan tiga buyut.
Bahkan, Paimin berani mengajak saudara-saudara kandungnya untuk pindah ke Desa Srigunung sampai akhirnya hanya menyisakan satu kerabat di Kota Malang.
Desa Srigunung yang dibelah Jalintimsum memang berkembang maju dan populer dengan nama Kampung Gladiator. Nama ini pemberian sopir-sopir truk yang beristirahat di warungnya. Bukan cuma rehat, para sopir terbiasa memeriksa dan memperbaiki kondisi truk di sebuah bengkel mobil dekat rumah Paimin.
“Nama bengkelnya Bengkel Gladiator. Sopir-sopir itu yang kasih nama Kampung Gladiator supaya mereka gampang mengingat nama tempat janjian ketemu, entah cuma untuk ngaso (istirahat) atau memperbaiki kendaraan,” ujar Paimin.
Sedangkan warungnya diberi nama Warung Nasi Arema Gadang sebagai penanda asal daerah dan sekaligus bukti cintanya pada kampung halaman.
Paimin suka merindukan Kota Malang. Terakhir kali Paimin bersama istri ke sana sepuluh tahun silam. Setelah itu, dia terpaksa memendam kerinduan pada kota kelahirannya lantaran keadaan keluarga besar dan kesibukannya di tanah rantau membuatnya tidak leluasa bepergian. Terlebih lagi dia merasa makin menua dan sang istri sudah wafat.
“Saya titip salam saja pada Sampean untuk Kota Malang dan orang-orang di Gadang yang masih mengenali saya. Sampean harus ekstrahati-hati di jalan agar sampai tujuan dengan selamat,” ujar Paimin, seraya menjabat erat tangan saya saat pamit untuk meneruskan perjalanan.
Pembaca, saya sempat melihat beberapa warung maupun tempat usaha kecil lain yang memakai nama depan Arema (singkatan arek Malang) yang disambung dengan nama asal desa/kelurahan maupun kecamatan di wilayah kota dan Kabupaten Malang. Sejak dari Kota Bandar Lampung (Ibu Kota Provinsi Lampung) saja, misalnya, saya sempat melihat beberapa warung bernama Arema Dampit atau hanya bernama Warung Arema.
Namun, sejatinya populasi transmigran Jawa asal Malang lebih sedikit dibanding transmigran dari Provinsi Jawa Tengah. Sekalipun digabung dengan transmigran asal Provinsi Jawa Timur lainnya, seperti dari Banyuwangi dan Madiun, tetap saja populasi transmigran dari Jawa Timur tidak mengimbangi populasi transmigran dari Jawa Tengah.
Total, ada lima provinsi di Pulau Sumatera yang saya lewati saat mudik, mulai Pelabuhan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan sampai tujuan akhir Kota Medan. Kelima provinsi ini adalah Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan Sumatera Utara.
Jauh sebelum memutuskan mudik ke Medan, saya mempelajari dulu sejarah kuli kontrak dan transmigrasi sehingga saya tidak terlalu heran dan kaget tatkala menjumpai banyak kampung bernama Jawa sejak dari Bandar Lampung sampai Kota Jambi. Saya juga sudah tahu bakal melintasi kampung-kampung Jawa yang berada di Jalintimsum Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Utara.
Namun, dari lima provinsi itu, Lampung jadi provinsi dengan kampung Jawa terbanyak. Saking banyaknya, sangat mudah menemukan nama-nama kampung atau orang Jawa di Lampung. Di beberapa kabupaten, banyak desa dan kecamatan yang bernama sama dengan nama daerah di Jawa.
Jangan heran, karena Lampung merupakan daerah tujuan transmigrasi pertama di Indonesia. Berdasarkan catatan di Museum Nasional Ketransmigrasian, Pemerintah Hindia Belanda memindahkan 155 keluarga asal Jawa dipindahkan ke pelosok Lampung pada November 1905 atau 117 tahun silam melalui program kolonialisasi. Program ini melahirkan istilah kuli kontrak.
Daerah pelosok yang jadi tujuan transmigrasi pertama itu menjelma jadi Desa Bagelen di Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Nama Bagelen ini sama persis dengan nama desa di wilayah Kabupaten Purworejo, yang jadi bagian dari Karesidenan Kedu.
Orang-orang dari Jawa terus dipindahkan ke Lampung setelah transmigrasi pertama hingga jelang Kemerdekaan Indonesia. Sepanjang 1905-1943 terdapat 51 ribu keluarga yang dipindah dari Jawa ke Lampung. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kembali menggelar program transmigrasi pada 12 Desember 1950 dan Lampung masih jadi daerah utama tujuan transmigrasi.
Keturunan para transmigran terus bertambah dan tersebar ke sejumlah daerah di Lampung, terutama di Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Pringsewu, dan Kota Metro.
Makanya, sekali lagi, jangan heran bila pembaca sedang melakukan perjalanan di Kabupaten Pringsewu, misalnya, bisa menemukan kecamatan bernama Ambarawa, Pardasuka, Sukoharjo, dan Banyumas. Di Kota Metro terdapat kecamatan bernama Bantul.
Selain kampung Jawa, di Lampung pun Anda pun bisa menjumpai sejumlah kampung Bali, terutama di wilayah Kabupaten Tulang Bawang dan Kabupaten Mesuji. Selebihnya ada segelintir kampung yang didominasi etnis Batak.
Sebagai penanda sejarah transmigrasi, maka Pemerintah Indonesia membangun Museum Nasional Ketransmigrasian di Desa Bagelen. Museum ini diresmikan penggunaannya pada 12 Desember 2004 dan tanggal peresmian ini disahkan jadi Hari Bhakti Transmigrasi. (ABDI PURMONO)
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim