Penulis: Dr. Drs. Sugit Zulianto, M.Pd.
*Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), sekaligus sebagai peer group Pusat Unggulan Ipteks (PUI) Javanologi, serta anggota HISKI Komisariat Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah.
Tugujatim.id – Kreativitas multiseni kerap muncul pada peringatan hari-hari besar nasional, termasuk saat menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada setiap Agustus. Untuk mempersiapkan keperluan itu, segenap warga masyarakat, dari usia anak, kelompok remaja, hingga orang dewasa, turut terlibat aktif memeriahkannya.
Dalam bidang kesenian, misalnya, keterlibatan mereka beragam, mulai saat bermusyawarah dan berlatih, bahkan saat berpraktik kesenian pada hari pelaksanaan peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia yang disepakati oleh panitia.
Umumnya, mereka memeriahkannya pada 16 Agustus. Akan tetapi, pentas kesenian dapat juga disesuaikan dengan hasil musyawarah anggota panitia. Namun, biasanya, pergelaran kesenian tetap lazim dilaksanakan pada Agustus, bukan Juli atau September.
Sehubungan dengan itu, pada Juli 2024, kabar bahwa patia peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79, kemerdekaan bangsa Indonesia, telah ramai dipersiapkan di berbagai instansi dan kelompok organisasi sosial. Akan tetapi, ada problem mental yang patut ditelaah, yakni munculnya istilah “demam panggung” di lingkungan kepanitiaan yang akan bertugas maupun kelompok kesenian yang akan berpentas.
Istilah itu muncul, baik dalam rapat karang taruna maupun dalam persiapan pelatihan kelompok seni yang diberi tanggung jawab melakukan dan memainkan suatu peran saat malam pergelaran seni. Dengan kata lain, pembentukan panitia tidak dapat terlaksanakan dengan lancar karena seseorang yang ditunjuk segera mengelak dengan alasan masih “demam panggung” untuk melaksanakan tugas.
Senada dengan itu, pemilihan seseorang untuk suatu peran seni juga ditolak karena masih “demam panggung”. Akibatnya, keterlambatan kerja panitia bukan karena kurang biaya, tetapi kurang siap mental dalam melakukannya.
Bertolak dari kondisi itu, hambatan mental tentang “demam panggung” tampaknya menarik untuk dibahas agar dapat dijadikan sebagai wawasan psikologis bagi segenap warga masyarakat bahwa beban mental itu dapat dipahami dan diatasi.
Bila beban mental itu sudah dapat diringankan, besar kemungkinan, kepanitiaan pelaksana kegiatan peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan RI diharapkan dapat dipersiapkan dengan melibatkan segenap warga masyarakat dari semua kalangan, baik anak, remaja, maupun dewasa.
Memang, peringatan HUT Kemerdekaan Bangsa Indonesia lazim dilakukan oleh semua usia, baik pria maupun wanita, baik di kota-kota besar, di kota-kota kecil, hingga di desa-desa sepelosok nusantara di mana pun berada. Menariknya, hal peringatan memang meluas, tetapi problem “demam panggung” tentu harus segera dikupas tuntas. Berikut ulasannya.
Istilah “demam panggung” sebenarnya berkenaan dengan keragu-raguan atau kebimbangan seseorang dalam melaksanakan suatu peran, baik peran sosial nonformal maupun tugas sosial formal. Peran sosial nonformal biasanya berada di lingkungan warga masyarakat yang tidak terikat resmi, misalnya kebersamaan pemuda sebagai anggota karang taruna dalam suatu kegiatan yang melibatkan pemuda secara partisipatif.
Berbeda dengan itu, peran sosial formal lazim berada di lingkungan institusi resmi meskipun tentang hal yang sama, yakni peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bila ketakutan melaksanakan peran di lingkungan nonformal, setiap anggota nyaris tidak mendapatkan sanksi apapun.
Akan tetapi, pegawai atau karyawan di suatu instansi yang tidak mau atau tidak siap melaksanakan peran sosial formal, tentu mudah mendapatkan sanksi, atau teguran dari pejabat lembaga setempat saat seseorang bertugas. Pada konteks itu, pemahaman dan pembahasan tentang “demam panggung” makin menarik ditelaah.
Pada tingkat anak, “demam panggung” biasanya begitu kuat. Artinya, seorang anak yang tidak mau menampilkan sesuatu peran biasanya disebabkan oleh rasa takut yang amat dalam. Bila terjadi, ekspresi anak kerap berubah dari keceriaan menjadi kesedihan.
Tidak jarang juga seorang anak menjadi murung karena “demam panggung”. Bila perlu, ia berlari meninggalkan panggung sekalipun dipaksa. Bila pemaksaan berlangsung, ia tunjukkan “demam panggungnya” dengan aksi menolak secara langsung, termasuk dengan perilaku tak sopan, misal berteriak hingga menangis di tempat acara tanpa rasa malu.
Kondisi psikologis yang berubah total itu tidak dapat diatasi dengan cepat sebab mungkin saja sang anak akan menunjukkan rasa kecewa yang terbawa-bawa ke lingkungan sosialnya, baik saat bersama anggota keluarga di rumah atau saat bermain dengan teman sejawat di lingkungan sekolah.
Selaras dengan suasana itu, “demam panggung” juga dapat dialami seseorang pada usia remaja. Artinya, bukan hanya usia anak yang terlanda problem mental “demam panggung”, tetapi juga seseorang berusia remaja.
Jika hal “demam panggung” dialami oleh remaja, mungkin saja hal itu sudah dialaminya sejak usia anak. Artinya, pada masa usia anak, ia tidak mendapatkan penempaan mental yang tepat sehingga senantiasa merasakan kebimbangan untuk bertemu dan berinteraksi dengan sesama dalam situasi sosial berbeda. Atau, saat remaja, ia merasa malu tampak atau tampil di hadapan publik sehingga menolak/mengelak saat diberi tanggung jawab peran sosial tertentu, misal menjadi bagian dari panitia peringatan HUT ke-79 RI.
Pada usia remaja, seseorang yang mengaku “demam panggung” relatif lebih cerdik menyembunyikannya, baik dengan tidak hadir dalam rapat maupun dengan alasan lain yang menjadikannya “bebas” dari tugas sosialnya.
Bila peran sosial yang dialami seorang anak dan remaja disebabkan oleh ketakutan dan kekhawatiran berlebih, kondisi psikologis itu juga dapat dialami oleh orang dewasa, termasuk dalam tugas sosial-formalnya.
Dalam pelaksanaan peran sosial dimaksud, seorang anak mungkin berlari meninggalkan arena; seorang remaja mungkin beralasan yang rasional; tetapi orang dewasa kerap tidak dapat menghindar sehingga tetap tampil meskipun menjadi bahan “tertawaan” oleh kolega-sejawatnya.
Saat ada peran khusus, baik sebagai panitia maupun pemeran tertentu dalam kesenian yang diberikan kepada orang dewasa, problem psikologisnya cenderung tetap dihadapi dengan sabar meskipun harus berlatih lebih keras. Dalam kondisi ini, orang dewasa lebih matang menghadapi keadaan meskipun harus dengan persiapan dadakan.
Berdasarkan ilustrasi problem “demam panggung” tersebut, seseorang yang mengalaminya tidak perlu gugup, apalagi meninggalkan peran sosial yang dibebankan kepadanya. Sebagai peran sosial, keterbatasan seseorang tentu akan dimaklumi oleh sesamanya yang seorganisasi saat ia beraktivitas.
Jika ada kesalahan pun, tentu bukan perbuatan yang melanggar hukum karena peran sosial yang tidak harus dilaksanakan secara sempurna. Namun, memahami hakikat “demam pangung” sebagai problem mental perlu dilakukan.
Artinya, seseorang yang “demam panggung” perlu mengenalinya bahwa perasaan tidak tenang patut dicari faktor penyebab dan cara mengantisipasinya. Hal itu diperlukan agar suasana bahagia dalam peringatan HUT ke-79 RI dapat disemarakkan bersama. Sangat disayangkan bila tugas sosial, baik dalam kepanitian maupun dalam kesenian tidak ditunaikan tanpa keterangan/penjelasan.
Dalam hal ini, bila sang anak terlihat mengalami “demam panggung”, orang tua tidak boleh memaksakannya. Namun, sang anak tetap diajak hadir untuk menyaksikan teman-teman sejawatnya. Jika hal ini dilakukan, pada kesempatan berbeda, sang anak akan berani mencoba peran seninya meskipun masih membawa rasa malu-malu.
Berbeda dengan itu, seseorang remaja/dewasa yang mengalami “demam panggung” harus berterus terang kepada sesama temannya. Agar kemeriahan peringatan HUT ke-79 kemerdekaan bangsa Indonesia terjaga, tetaplah menerima peran yang lain sehingga kekompakannya masih utuh.
Begitu juga, orang dewasa yang tidak sanggup memerankan tugas tertentu dalam peringatan HUT ke-79 kemerdekaan bangsa Indonesia, sepatutnya berterus terang juga kepada sesamanya. Akan tetapi, peran sosial di masyarakat perlu terus dijaga. Dengan begitu, kebersamaan dengan warga masyarakat dapat dipelihara.
Berdasarkan uraian itu dapat ditegaskan bahwa “demam panggung” tidak perlu muncul saat seseorang bertugas sebagai panitia/pelaku seni dalam peringatan HUT ke-79 kemerdekaan RI. Bila terjadi, problem mental itu tidak boleh dibiarkan sebab mengganggu kelancaran atau kemeriahan kegiatan sosial yang monumental dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sebagai alternatif solusinya, sampaikan kesulitan psikologis ke sejawat, misalnya kurang konsentrasi atau ada kelemahan fisik, misalnya kurang sehat. Bila tidak dapat dihindari, alternatif menghadapi “demam panggung”, yaitu dengan berlatih sesuai dengan potensi diri.
Sebagai contoh, ketua panitia berlatih berpidato; seorang remaja berlatih menyanyikan lagu wajib. Pendek kata, pahami “demam panggung” sebagai beban mental yang dapat diantisipasi, bukan dihindari karena dapat menimbulkan kesan interaksi sosial yang kurang setia kawan.
Sungguh, sudah seharusnya, “demam panggung” menjadi sikap yang tak boleh muncul, apalagi saat momentum bersejarah, yakni perayaan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh pahlawan hingga tetes darah penghabisan. Tanpa ragu, kita ucap salam sukses bermultibudaya, Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id