SURABAYA, Tugujatim.id – Di tengah hiruk-pikuk kesibukan Kota Surabaya, jejak-jejak sejarah berupa kompleks Bong Cina di masa lalu hingga kini masih bisa ditemui. Tepatnya, di Kampung Ketandan, Surabaya. Kampung yang ditinggali oleh kurang lebih 600 KK ini dulungnya disebut-sebut sebagai kompleks pemakaman etnis Tionghoa atau Bong.
Secara administrastasi, Kampung Ketandang dihimpit oleh Jalan Tunjungan dan Jalan Embong Malang, Kelurahan Genteng. Lokasinya tak jauh dari mall terbesar kedua di Indonesia, Tunjungan Plaza.
“Dulu di sini semuanya Bong, sampai Embong Malang. Kemudian terpendam lalu jadi kampung ini,” kata salah satu tokoh masyarakat asli Kampung Ketandan Sandhi (54).
Sayangnya, keberadaan Bong kini tinggal kenangan. Hanya ada beberapa nisan Cina yang bisa ditemui di beberapa titik dan terserah di Kampung Ketandan. Bahkan salah satu Bongpay (nisan) dengan pelataran aksara Cina beralih menjadi penutup gorong-gorong. Ukuran beberapa Bongpay yang ditemui di sini kurang lebih 1 meter x 80 centimeter.
“Memang belum dikumpulkan jadi satu sebagai penanda kalau penemuannya di titik ini,” ujarnya.
Di kampung ini, juga terdapat makam Mbah Buyut Tondo, leluhur yang dipercaya sebagai pembabat alas Kampung Ketandan dan hingga kini disakralkan oleh penduduk setempat.
Ada enam makam yang ditemukan di komplek makam Mbah Buyut Tondo. Dua di bagian depan dipercaya sebagai penjaga Mbah Buyut Tondo. Lalu makam Mbah Buyut Tondo sendiri berdampingan dengan istri dan dua anaknya.
Untuk masuk ke area makam, Sandhi menuturkan jika seseorang harus dalam keadaan suci. Pintu kayu dengan ukiran yang khas bertuliskan Mbah Buyut Tondo menjadi pembuka. Lalu, disambut dengan pohon beringin yang rindang berumur ratusan tahun.
“Setip malam suro sama Jumat legi, banyak pengunjung dari mana-mana itu pada ke sini (makam). Semuanya ngadain sedekah bumi,” tuturnya.
Melansir dalam situs sejarah Kota Surabaya milik Begandraing, makam ini diperkirakan berumur 1700-1800 an.
Makam Mbah Buyut Tondo juga satu lokasi dengan Pendopo Cak Markeso, pendopo bernuansa Jawa yang diresmikan Wali Kota Surabaya pada 2016 silam.
“Di pendopo ini tempat pusat kegiatan warna. Dulu kebanyakan orang sini profesinya pemain ludruk, termasuk saya generasi keempat,” ucap Sandhi.
Di Gang Ketandan Lor, juga terdapat masjid kuno yang kini bersama An-Nur. Masjid ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1915 dan sudah mengalami empat kali renovasi. Seperti yang tertulis di atas pintu masuk masjid ini.
Meski pernah mengalami perombakan di tahun 1958, masjid ini masih menyisakan beberap strukturnya yang asli, seperti tembok, jendela, kusen dan pilar-pilarnya khas bangunan era kolonial Belanda.
Masjidnya tak begitu besar, kira-kira berukuran 10×5 meter. “Dari dulu memang sudah digunakan warga sini, awalnya mushola,” bebernya.
Sandhi juga menceritakan, saat dilakukan penggalian di lokasi masjid, ditemukan dua botol minum peninggalan prajurit Belanda. Botol tersebut berbahan tanah liat dan bertuliskan bahasa Belanda “Rotterdam”.
Dua botol tersebut tersimpan rapi di balai RW 4 Ketandan. Kini, Kampung Ketandan beralih menjadi salah satu destinasi wisata heritage di Kota Pahlawan.
Warga berharap, jejak-jejak sejarah di Kampung Ketandan akan terjaga rapi. Salah satunya dengan pembangunan museum.
“Nanti kalau ada dana, kami rencananya akan membangun museum. Temuan-temuan sejarah tadi diletakkan di sana,” tandasnya.
Reporter: Izzatun Najibah
Editor: Darmadi Sasongko