SURABAYA, Tugujatim.id – Jalan paving itu tampak warna-wani bergambar bunga, tanaman hias berjajar rapi, deretan rumah khas kampung masih bergaya lawas era kolonial. Gangnya kecil, tapi unik dan menawan. Ya, ‘Kampung Lawas Maspatih’ tidak sekadar kampung, namun punya sejarah tentang Tumenggung dan Adipati Keraton Surabaya.
“Kampung ini, waktu Kerajaan Mataram. Sebrang sana ada Keraton. Di sini perumahan Adipati dan Tumenggung (sejajar Menteri, red). Pasca itu, Raden Pekik (hidup pada tahun 1659, red) tinggal di sini, maka dijuluki ‘Maspatih’, artinya perumahan para Adipati,” jelas Sabar Suastono, Ketua RW 3 Kampung Lawas Maspatih, Jumat (08/01/2021), pukul 15.45 WIB.
Baca Juga: Herry Rasio, Master Aquascape Kelas Dunia Asal Malang
Kampung itu sudah ada sejak abad ke-17, dulu jadi tempat tinggal para ‘abdi dalem’ Keraton Kerajaan Surabaya. Karena lokasi yang tidak jauh dari keraton, sekitar 100 meter, ada di sebrang Jl. Maspatih Surabaya. Sehingga bisa cepat datang bila diperlukan oleh kerajaan.
“Dulu rumahnya tidak dempet, agak jauhan. Di sana ada makam mbah Buyut Suruh. Waktu itu, punya cucu namanya Sawunggaling. Adipati Surabaya pada masa Kerajaan Islam membuat sayembara, memilih Adipati. Sawunggaling nakal, ndableg, tapi kakek-nenek (Raden Karyo Sentono dan mbah Buyut Suruh, red) mendukung sampai ternyata dia jadi Adipati,” cerita Sabar pada Tugu Jatim, sambil duduk di kursi panjang tepi jalan Kampung Lawas Maspatih.
Tugu Jatim menyisiri Kampung Lawas Maspatih. Ada rumah Ongko Loro, dibangun tahun 1907. Konstruksi masih asli, khas rumah lawas. Pintu, jendela dan dinding bagaikan rumah masa ‘Bumi Manusia’ milik Pramoedya Ananta Toer. Rumah Ongko Loro dulu dipakai sekolah rakyat untuk mengurangi warga yang buta huruf, supaya bisa membaca.
Baca Juga: Buah-Buah Terbaik untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh
“Pasca Kerajaan Islam dan masuk masa kemerdekaan Indonesia, perang 10 November di Tugu Pahlawan (jarak 200 meter dari kampung, red), di tahun 1900-an ada rumah yang dipakai diskusi para pejuang. Ada dapur perang di losmen. Tentu, ini adalah sejarah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” lanjut Sabar dengan wajah yang menghayati cerita itu, Jumat (08/01/2021).
Kampung yang terletak di Jl. Maspatih, Bubutan, Surabaya itu juga mempunyai sudut sejarah seperti Rumah Raden Sumomiharjo dan Rumah Sehat Kenanga. Ada juga tambahan wisata seperti Lorong Selfie, Edukasi UKM, Aula dan Area Kuliner Kampung Lawas Maspatih yang dibuat oleh warga, sebagai upaya elaborasi dengan masa kini.
“Kesimpulannya, kampung dan negara duluan kampung lahirnya. Tanpa ada kampung, mustahil ada negara. Sebuah pembangunan dimulai dari kampung, tanpa memulai dari kampung saya yakin pembangunan itu tidak akan berhasil. Kampung itu laboratorium pancasila, kampung harus dilestarikan, kalau kampung hilang pancasila bisa hilang,” harapan Sabar yang diceritakan pada Tugu Jatim, Jumat (08/01/2021).
Baca Juga: Wiji Thukul, Mengenang Sastrawan dan Aktivis yang Hilang pada Masa Orde Baru
Nuansa sejarah kental, membuat Kampung Lawas Maspatih dikunjungi wisatawan asing dari Eropa dan Asia. Mendapat banyak predikat. Sertifikat lomba, penghargaan dan apresiasi terpasang rapi di dinding rumah Sabar Suastono. Yang berkesan, ucapan Sabar bahwa ‘kampung lahir lebih dulu ketimbang negara. Kampung ialah laboratorium pancasila. Maka, harus dijaga’. (Rangga Aji/gg)