Wiji Thukul, Mengenang Sastrawan dan Aktivis yang Hilang pada Masa Orde Baru

wiji thukul
Wiji Tukul, aktivis yang hilang diduga korban penculikan masa Orde Baru. (Foto: tamanbahasaindonesia.blogspot.com)

26 Agustus 1963 merupakan tanggal di mana sosok inspiratif kelahiran Surakarta itu dilahirkan. Ia bernama Wiji Thukul. Nama belakang “Thukul” diberikan oleh Cempe Lawu Warta saat ia mulai aktif di kelompok teater Jagat. Pada tahun ini Wiji Thukul berusia 57 tahun.

Tepat di tanggal kelahirannya, lelaki yang memiliki nama asli Wiji Widodo itupun menjadi sosok yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat di sosial media. Tagar #WijiThukul bahkan menduduki peringkat pertama topik yang paling dibicarakan di Twitter (trending topic) pada 26 Agustus 2020. Setidaknya ada sekitar sembilan ribu tweet yang menggunakan tagar tersebut.

Baca Juga: Mengintip Film Tilik, Diproduksi Tahun 2018, Viral Tahun 2020

Mereka ramai-ramai membicarakan tentang tidak diketahuinya nasib Wiji Thukul setelah 22 tahun dinyatakan hilang. Apakah ia sebenarnya sudah meninggal atau masih hidup. Mereka juga membahas karya-karya yang pernah ditulis oleh Wiji Thukul. Banyak kutipan dari puisi-puisi tersebut yang diunggah oleh para pengguna Twitter.

Thukul biasa ia disapa merupakan sosok inspiratif yang terus dikenang hingga sekarang. Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang ativis, melainkan juga sastrawan dan budayawan. Thukul merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Statusnya sebagai anak sulung tentu juga membentuk sikap, pemikiran, dan kepribadiannya.

Sosok pemberani itu tidak sekadar menampakkan keberanian untuk membela keluarganya, tetapi juga berani dalam membela hak-hak orang lain. Keberaniannya tersebut ia tunjukkan melalui aksi demonstrasi yang seringkali ia lakukan. Pada mulanya ia hanya mengikuti aksi tersebut di daerah asalnya, namun semakin meluas ketika ketidakadilan semakin sering ia jumpai. Selain itu, ia juga aktif menghasilkan puisi yang dapat menjadi media kritik dan pembangkit semangat perlawanan.

Baca JugaModus Investasi Tembakau, Biduan Asal Malang Kena Tipu Rp 350 Juta

Puisi-puisi karya Thukul masih relevan dengan kondisi saat ini. Puisi-puisi tersebut sering digunakan sebagai bentuk kritik terhadap ketidakadilan yang terjadi. Puisi berjudul “Perngatan” merupakan salah satu puisi yang sering didengar ketika aksi demonstrasi dan aksi. Larik “Maka hanya ada satu kata:lawan!” adalah larik yang paling sering diteriakkan oleh massa untuk membangkitkan semangat perlawanan.

Aksi yang dilakukan oleh Thukul dalam bentuk demonstrasi maupun puisi ini tentu tidak disukai oleh pemerintah pada masa orde baru. Ada banyak hal yang telah dilakukan untuk membungkam atau menghentikan aksinya, namun pada kenyataannya  Thukul tidak pernah mau diam. Ia tidak mau dibungkam.

Sekitar tahun 1996-1998 Thukul pernah hidup dalam pelarian. Ia harus meninggalkan keluarganya. Ia senantiasa dicari-cari aparat yang ingin menangkapnya. Hal tersebut merupakan hasil dari aksi yang ia lakukan entah melalui demonstrasi, bergabung dengan partai, maupun menulis puisi-puisi provokatif. Thukul tinggal bersama sebuah keluarga di Pontianak.

Baca Juga: Awas, Obesitas Tingkatkan Risiko Kematian COVID-19 hingga 48 Persen

Ketika itu ia hidup dengan nama Paul. Orang-orang disana mengenalnya sebagai seorang tukang bakso yang bangkrut, supir bus yang baru dipecat, atau bahkan orang frustasi. Hidup dalam pelarian tentu tidak membuat Thukul bahagia. Pada suatu waktu ia memutuskan untuk kembali ke rumah asalnya karena merindukan seluruh anggota keluarga, namun tidak berselang lama Thukul dinyatakan hilang.

Wiji Thukul memang saat ini tidak diketahui bagaimana nasibnya. Apakah ia sekadar hilang atau ia memang sudah tinggal nama. Seperti pepatah “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati menghilangkan nama”, Thukul kini pun juga demikian. Ia sebagai seorang manusia meninggalkan nama baik yang bisa dikenang.

Bagaimana ia melakukan perlawan dan perjuangan untuk sebuah keadilan akan terus diingat oleh semua orang khususnya rakyat Indonesia. Kata-katanya pun akan tetap mengobarkan semangat untuk melawan ketidakadilan. Bahkan dalam setiap aksi melawan ketidakadilan, puisi-puisi Widji Thukul tidak akan pernah absen disuarakan dengan lantang. Thukul melawan dengan kata akan terus ada meskipun raga tidak diketahui di mana rimbanya.

 

Penulis: Sindy Lianawati