MOJOKERTO, Tugujatim.id – Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) sempat bikin heboh dunia maya lantaran menginisiasi kebijakan masuk sekolah pukul lima pagi. Meski belakangan, jam masuk sekolah diubah menjadi pukul 05.30. Lalu apa kata psikolog perihal jam masuk sekolah kontroversial itu?
Dr Hj Rofiqah Rosidi MPd CHt, seorang konselor, hipnoterapis, dan dosen psikologi asal Kota Malang, mengatakan, masalah ini bukan semata-mata wilayah kajian psikologi pendidikan, tapi masalah biologi, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan.
“Mengapa? Karena dampak langsung dari kebijakan masuk sekolah itu adalah terjadinya social jetlag. Setahu saya, social jetlag ini berkorelasi negatif dengan hampir semua kualitas hidup manusia, termasuk prestasi belajar,” kata Rofiqah.
Rofiqah menjelaskan, gejala social jetlag sudah marak terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia. Social jetlag merupakan semacam ketidakselarasan antara jam biologis dan jam sosial. Misalnya, suka begadang akhir pekan dapat mengacaukan keselarasan antara waktu tidur dan istirahat. Waktu yang semestinya digunakan tidur dan beristirahat malah dipakai begadang. Jadi, saat harus bekerja atau belajar, jam biologis orang akan memerintahkan untuk tidur.
“Kejadian kurang konsentrasi, mengantuk, menguap, atau bahkan tertidur di kelas, terjadi karena social jetlag. Anak-anak sekarang banyak melakukan rescheduling atau bahkan skipping the schedule hanya untuk nongkrong, kongkow, ngegame, nonton film, atau apa saja yang disebut screen time. Nah, waktu yang dirampas oleh kegiatan itu yang mengakibatkan kekacauan jam biologis dan jam sosial,” imbuh dosen Program Sarjana dan Pascasarjana Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu.
Baca Berita Lainnya:
4 Pimpinan DPRD Jatim Dicegah Pelesiran ke Luar Negeri
Lesbumi Kota Malang Bakal Gelar Ngaji ala Pesantren saat Ramadhan, Kuota Terbatas!
Ketua Cabang Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin) Kota Malang itu mengatakan, sudah banyak penelitian mendukung temuan dampak negatif dan serius dari social jetlag ini. Dengan demikian, dia berharap siapa pun sebisa mungkin harus menghindarinya, sedangkan pemerintah seharusnya mencegahnya.
“Seharusnya social jetlag yang terjadi karena kebiasaan individu saja harus dicegah, kok ini malah ada kebijakan yang hampir pasti akan mengakibatkan social jetlag. Ini yang bagi saya agak gimana gitu,” ujar Rofiqah.
Dia menyayangkan kebijakan masuk sekolah yang dibuat terkesan terburu-buru tanpa disertai kajian akademis yang mencukupi.
“Ya, kalau pejabat politiknya tidak mengetahui dampaknya karena memang bukan keahliannya, tapi kan dia punya staf ahli, punya ahli kebugaran, kesehatan, kedokteran, psikologi, dan ahli-ahli lainnya. Niat baik tanpa pengetahuan itu jadi tidak baik!” ujarnya.