Tugujatim.id – PT Sri Rejeki Isman Tbk atau PT Sritex harus merelakan masa kejayaannya selama lima dekade sebelum resmi dinyatakan pailit atau bangkrut oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024.
PT Sritex menjadi salah satu raksasa teksil di Indonesia. Perusahaan ini berdiri sejak 1966 silam, kemudian berkembang pesat hingga menjadi pemasok global untuk merek-merek ternama seperti H&M, Walmart, dan K-Mart.
Melansir dari situs sritex.co.id, mulanya PT Sritex didirikan oleh Lukminto di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 1966 sebagai industri tekstil berskala kecil. Tepatnya, sebagai perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo.
Baca Juga: PT Sritex Pailit, Resmi Berhenti Beroperasi Per 1 Maret 2025, Nasib Karyawan Masih Menggantung
Berkat strategi bisnis yang kuat, perusahaan ini tumbuh pesat. Lalu membuka pabrik cetak pertamanya yang menghasilkan kain putih dan berwarna di Solo pada 1968. Disusul 1978, PT Sritex terdaftar dalam Kementerian Perdagangan sebagai perseroan terbatas serta mendirikan pabrik tenun pertamanya pada 1982.
Pada 1992, Sritex memperluas pabrik dengan 4 lini produksi yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana dalam satu atap. Kemudian pada 1994, Sritex mulai memperluas pasarnya ke tingkat internasional. Dengan menjadi produsen seragam militer berbagai negara, termasuk NATO, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong pertumbuhan perusahaan.
Dengan fasilitas produksi modern dan tenaga kerja dalam jumlah besar, Sritex mampu menghasilkan berbagai jenis kain berkualitas tinggi yang digunakan dalam seragam militer, pakaian fesyen, hingga perlengkapan industri.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Dua Skenario Penyelamatan Sritex Hadapi Dampak Pailit
Pada 2001, Sritex berhasil selamat dari Krisis Moneter pada 1998 dan berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai 8 kali lipat dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992. Kesuksesan Sritex semakin terlihat ketika perusahaan ini melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2013 dengan kode ticker dan SRIL.
Langkah ini memungkinkan perusahaan mendapatkan pendanaan lebih besar untuk ekspansi dan modernisasi mesin produksi. Hingga 2020, Sritex masih menjadi pemimpin pasar tekstil di Indonesia, bahkan bertahan di tengah pandemi Covid-19 dengan mengalihkan sebagian produksi ke pembuatan masker dan alat pelindung diri (APD).
Sritex Krisis Keuangan, 10.965 Karyawan Kena PHK Massal
Namun, meski sempat berjaya, Sritex mulai mengalami tekanan keuangan dalam beberapa tahun terakhir. Utang perusahaan membengkak, terutama setelah ekspansi besar-besaran yang membutuhkan modal kerja tinggi. Ketidakmampuan membayar kewajiban finansial, membuat perusahaan masuk dalam daftar kredit macet.
Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang resmi menyatakan Sritex pailit setelah perusahaan gagal memenuhi kewajiban utangnya kepada kreditur. Upaya kasasi ke Mahkamah Agung pun ditolak pada Desember 2024, mengukuhkan status kebangkrutan.
Akibat keputusan ini, 10.965 karyawan terkena PHK dan perusahaan mengumumkan penutupan operasional per 1 Maret 2025. Sayangnya, hingga kini, ribuan buruh masih menunggu kepastian pembayaran pesangon dan tunjangan hari raya (THR)-nya.
Lebih jauh, kebangkrutan Sritex menjadi pukulan besar bagi industri tekstil nasional. Sebagai salah satu produsen terbesar, penutupan perusahaan ini dapat berdampak pada rantai pasokan tekstil, ekspor, hingga tenaga kerja di sektor ini.
Serikat pekerja meminta agar aset Sritex yang akan dilelang digunakan untuk membayar hak-hak karyawan. Di sisi lain, pemerintah diharapkan turun tangan dengan menyediakan pelatihan kerja atau program relokasi tenaga kerja agar para eks-karyawan dapat menemukan peluang baru di sektor lain.
Perjalanan panjang Sritex dari kejayaan hingga dinyatakan pailit menjadi cerminan tantangan besar dalam industri tekstil. Dengan semakin ketatnya persaingan global, perusahaan tekstil di Indonesia perlu strategi yang kuat untuk bertahan dan berkembang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: Feni Yusnia
Editor: Dwi Lindawati