KEDIRI, Tugujatim.id – Memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional, AJI Kediri bersama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kediri dan Fakultas Hukum Uniska mengelar malam ekspresi kebebasan pers pada Jumat (20/5/2022).
Melalui penampilan musik, puisi, teatrikal, musikalisasi puisi dan pantomim di atas panggung Hari Kebebasan Pers Internasionalara insan pers itu mengajak hadirin untuk mengingat kembali kasus pembungkaman jurnalis yang terjadi di masala lalu serta menyurakan kembali bebebasan pers di Indonesia.
Aditya Rahmad, ketua panitia dan juga koordinator litbang PPMI Kediri menyatakan, banyak tantangan yang dialami oleh kalangan aktivis dan pers belakangan ini. Banyak pembungkaman dialami oleh aktivis yang menyuarakan kritik. Jurnalis baik dari pers umum dan pers mahasiswa diperkarakan dan dianiaya karena berita kritis.
“Bersamaan dengan momentum World Press Freedom Day kali ini, kami bersama menyuaran kebebasan pers. Banyak kawan kami di pers mahasiswa juga mengalami tindakan pembungkaman dalam melakukan kerja junalistik dengan berita yang kritis di kampus, baik ancaman nilai, skorsing, drop out, bahkan pembubaran media mahasiswa,” ungkapnya.
Menyadari pentingnya perlindungan hukum untuk jurnalis ini, AJI Kediri dan Fakultas Hukum Uniska menandatangani Memorandum of Understanding berkaitan dengan advokasi bagi jurnalis. Mulai menguatkan advokasi bagi jurnalis, edukasi, konsultasi hukum hingga pendampingan perkara.
Ketua AJI Kediri, Danu Sukendro, mengatakan bahwa perlindungan hukum bagi jurnalis realitasnya masih rentan, meski aktivitas jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang nomor 40/1999.
Kran kebebasan pers pasca reformasi ternyata tak berjalan konsisten, karena masih banyak kasus yang seharusnya merupakan sengketa pemberitaan dan diselesaikan dengan UU Pers, justru diselesaikan melalui jalur pidana, dijerat pasal karet KUHP sertta UU ITE. Banyak pihak yang tak memahami kerja jurnalis sehingga kerap terjadi kasus menghalang-halangi kerja jurnalis bahkan kekerasan.
Selama tahun 2021, Aliansi Jurnalis Independen mencatat terdapat 43 kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis. Data Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan Indonesia mengalami penurunan indeks kebebasan pers, dari urutan ke-113 pada tahun 2021 tahun 2022 urutan 117.
“Ironis, 24 tahun reformasi, namun kebebasan pers masih terbelenggu bahkan sudah menunjukkan pemberangusan seperti era Orde Baru, namun dengan pola yang lain,” tukas Danu.
Karena itu, Danu berharap MoU dengan FH Uniska ini dapat memperkuat kapasitas advokasi jurnalis sehingga mereka bisa memaksimalkan perannya sebagai fungsi kontrol bagi penguasa.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Uniska, Dr Zainal Arifin, menyatakan dukungannya terhadap perlindungan hukum bagi jurnalis. Sebab, lanjut dia, jurnalis bekerja menjadi mata masyarakat.
“Jurnalis bekerja untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu atau right to know. Masyarakat itu memiliki hak untuk mengetahui. Masyarakat biasa tidak bisa mengakses informasi untuk mengetahui. Karena itu kemudian di wakili oleh wartawan dalam hal ini pers sebagai pencari informasi sehingga kebebasan pers menjadi dasar yang utama dalam menunjang berbagai hal termasuk demokrasi,” ujar Zainal.
Menurut Zainal, Fakultas Hukum Uniska berkomitmen untuk menguatkan perlindungan bagi jurnalis. Dari pelatihan, advokasi hingga pendampingan hukum bagi jurnalis yang berperkara.
“MoU ini harus diimplementasikan dalam program yang nyata untuk menberikan perlindungan hukum bagi jurnalis,” tambah Zainal yang desertasinya tentang Hukum Pers ini.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim