SURABAYA, Tugujatim.id – Ketua DPD Pemuda Tani Indonesia Jawa Timur (Jatim) Durrul Izza Al-Fatawi merespons soal kebijakan impor beras di Indonesia. Dia mengatakan, hal itu dapat mencederai para petani, apalagi pada kondisi panen raya mendatang.
Respons itu dia sampaikan karena menanggapi kebijakan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Perdagangan terkait rencana impor beras 1 juta ton menjelang panen raya, merujuk pada Permendag No 24 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa patokan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 4.200 per kilo dengan catatan kadar air beras maksimal 25 persen untuk bisa diserap oleh Bulog.
Namun, di tengah curah hujan yang lebat pekan ini, Menteri Perdagangan menyebut bahwa kualitas beras petani lokal mempunyai kadar air tinggi sehingga sulit diserap Bulog. Izza meresponsnya dengan tegas melalui pernyataannya.
“Impor beras mencederai petani. Meski pemerintah tidak bisa hadir dalam menjaga kedaulatan petani, minimal tidak menyakiti mereka dengan mengimpor beras 1 juta ton, lebih-lebih pada kondisi panen raya,” terang Izza saat dihubungi via daring, Sabtu sore (20/03/2021).
Selain itu, Izza memberikan catatan presisi, merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tertanggal 1 Maret 2021 soal peluang produksi beras dari Januari-April 2021 mengalami peningkatan sekitar 26,89% bila dibandingkan Januari-April 2020.
“Sebenarnya, pemerintah bisa melihat data BPS pada 1 Maret 2021, potensi produksi beras Januari-April 2021 sekitar 14,54 juta ton; naik 3,08 juta ton (sekitar 26,89%, red) dibanding Januari-April 2020. Sedangkan konsumsi Januari-April 2021, yakni 9,72 juta ton sehingga potensi surplus 4,81 juta ton,” imbuhnya.
Menurut Izza, kebijakan impor beras sebanyak 1 juta ton berpengaruh pada harga gabah di lapangan, sebut saja di Tuban, Nganjuk, dan Probolinggo. Padahal, harga yang dipatok pemerintah pada Permendag No 24 Tahun 2020 sebesar Rp 4.200 per kilo. Jadi, menurut Izza, melakukan impor beras merupakan bentuk kebijakan yang kurang arif dari pemerintah.
“Jelas sangat berpengaruh, kebijakan impor beras sangat tidak bijak sehingga berpengaruh terhadap harga gabah di lapangan, di Tuban tembus Rp 3.300, Nganjuk Rp 3.400-Rp 3.500, lalu Probolinggo Rp 3.300-Rp 3.400 per kilo. Padahal, harga patokan pemerintah Rp 4.200,” jelasnya.
Izza menjelaskan bahwa tugas Bulog seharusnya untuk membuat stabil harga pangan, bukan justru menghancurkan harga di lapangan. Izza juga menyoroti hal itu dalam perspektif keilmuan agrobisnis.
“Tugas Bulog adalah membuat stabil harga, bukan menghancurkan harga. Serap gabah adalah yang harus dilakukan dalam kondisi seperti ini, bukan impor beras. Secara ilmu agrobisnis, ini tidak masuk di mana permintaan dan ketersediaan masih cukup, malahan digerojok beras dari Thailand,” bebernya. (Rangga Aji/ln)