PASURUAN, Tugujatim.id – Upaya konservasi tanah dengan sistem rorak di Pasuruan berdampak signifikan terhadap hasil budi daya durian di Desa Galih, Kecamatan Pasrepan. Teknik rorak atau parit buntu ini mampu menyuburkan tanah hingga membuat hasil panen durian di Kabupaten Pasuruan bisa berkali-kali lipat lebih banyak.
Tidak hanya itu, potensi bencana banjir juga bisa diminimalisasi dengan adanya sistem rorak di Pasuruan ini. Salah satu yang merasakan manfaatnya adalah Muchamad Satulik, 35, Kepala Dusun Sumberejo, Desa Pasrepan, Kabupaten Pasuruan.
Pria yang tergabung sebagai anggota Komunitas Masyarakat Peduli Sungai (KMPS) Desa Galih ini sudah menerapkan sistem rorak di kebun duriannya sejak 2020. Lubang parit buntu untuk menampung air dan sedimentasi tanah yang dibuatnya ternyata bisa membuat tanaman duriannya tumbuh subur.
“Sebelumnya selama tiga tahun pas pandemi itu kena paceklik, nggak panen durian sama sekali. Setelah ada rorak ini panennya lancar,” ujar Satulik pada Senin (05/06/2023).
Satulik menyebut setelah menerapkan sistem rolak di Pasuruan, dirinya tidak khawatir lagi saat musim kemarau datang. Pohon duriannya tetap berbuah karena cadangan kandungan air tanah masih terjaga. Bahkan dalam sekali panen, hasilnya bisa berlipat hingga tiga kali lebih banyak.
“Panennya setahun sekali, tapi sekarang tiap musim, bisa berbunga sampai tiga kali. Duriannya juga lebih besar,” ungkapnya.
Kepala Desa Galih Eko Miyanto mengatakan, desanya memang terkenal sebagai daerah penghasil durian terbesar di Kabupaten Pasuruan. Durian Pasrepan ini disebut punya perbedaan dengan durian dari daerah lain. Di mana durian Pasrepan bisa lebih tahan lama dan tidak cepat basi meski kulitnya sudah dibuka.
Eko mengatakan, setelah warganya diajari terkait sistem rolak, dalam setahun bisa memproduksi hingga puluhan ton durian.
“Kalau satu desa ya kira-kira setahun adalah 25 ton, bahkan lebih,” ungkapnya.
Sistem rolak di Desa Galih ini dipelajari warga lewat program edukasi konservasi tanah dan air yang dilakukan oleh Yayasan Sekolah Konang Indonesia (Sanggar Belajar Tata Kelola Lingkungan) bersama PT Aqua Tirta Investama.
Dwi Hamsyah, salah satu pengurus Yayasan Sekolah Konang Indonesia, menjelaskan bahwa sistem rolak ini dibuat dengan cara menggali lubang seperti parit di tanah. Parit tersebut dibuat sedalam 50 cm dengan lebar 50 cm dan panjang antara satu hingga dua meter.
“Nanti paritnya bisa menampung air dan sedimentasi tanah yang kualitasnya bagus saat musim hujan,” ujar Dwi.
Dia menyebut bahwa sedimentasi tanah yang ditampung ke dalam rorak merupakan top soil. Yakni, tanah di lapisan paling atas yang paling subur karena mengandung banyak unsur hara, mineral, dan bahan-bahan organik lain.
“Rorak harus dibuat di dekat tanaman, sepanjang batas akar tanaman, itu bisa dilihat lewat dari daun paling ujung terjauh. Tujuannya agar mineralnya bisa diserap,” jelasnya.
Tidak hanya itu, rorak juga berfungsi menampung dan menyerap aliran air dari atas tebing sehingga tidak langsung mengalir ke sungai. Air resapan tersebut nantinya disimpan di tanah sebagai “tabungan” ketika memasuki musim kemarau.
Di Desa Galih sendiri sudah ada total 1.000 meter parit rorak. Selain itu, dibuat juga 300 titik biopori dan 19 titik sumur resapan. Dwi menyebut manfaat dari sistem resapan air ini selain menyuburkan tanah juga mencegah potensi banjir.
“Jadi kemarau tanamannya tetap bisa dapat air. Selain itu, airnya dari atas kan diserap, tidak langsung ke sungai. Jadi tidak meluap dan banjir di hulu bisa dicegah,” ujarnya.
Selain durian, kini Sekolah Konang juga tengah mengembangkan budi daya kopi di Desa Galih. Pagi hari tadi, sebanyak 5.000 bibit kopi ditanamkan bersama-sama warga dan perwakilan mahasiswa Universitas Yudharta Pasuruan dalam rangka memperingati Hari Konservasi Sedunia.