PASURUAN, Tugujatim.id – Sekilas bangunan Masjid Jami’ Baitul Atiq di Dusun Serambi, Desa Winongan Kidul, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan, ini tampak sama seperti masjid lainnya. Namun, belum banyak yang tahu bahwa masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Pasuruan.
Masjid Jami’ Baitul Atiq yang bisa menampung hingga seribu jamaah ini diperkirakan sudah berusia hingga 2 abad lebih. Ketika mengunjungi masjid besar tersebut, Tugujatim.id bertemu salah satu pengurus masjid. Dialah Abdul Rochim, 68, pria yang sudah mengabdi puluhan tahun sebagai sekretaris Masjid Jami’ Baitul Atiq Winongan.
Rochim mengatakan, saking tuanya masjid tersebut, warga sekitar tidak mengetahui pasti kapan masjid tersebut kali pertama dibangun. Namun, dia memperkirakan masjid tersebut sudah berdiri sejak 216 tahun silam. Hal ini dibuktikan dengan tulisan angka dalam bahasa Arab yang berada di kayu depan tempat imam masjid. Dalam kayu tersebut tertulis angka 1216 Hijriah atau sekitar 1802 Masehi.
“Kemungkinan kayu itu dipasang setelah masjid sudah pernah direnovasi dan diperluas,” ujar Rochim.
Rochim menuturkan, berdasarkan cerita turun temurun dari sesepuh desa, Masjid Jami’ Baitul Atiq ini dulunya menjadi satu-satu masjid yang berada di Kecamatan Winongan. Masjid tersebut menjadi pusat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Habib Sholeh Semendi, ulama penyebar Islam pertama di Pasuruan.
Habib Sholeh Semendi merupakan kakek dari Mbah Slagah. Di mana Mbah Slagah adalah pendiri dari Pondok Salafiyah dan Masjid Jami’ Al Anwar Kota Pasuruan.
“Zaman saya kecil dulu kalau jumatan, semua warga se-Kecamatan Winongan salatnya ya di sini. Jadi kemungkinan besar Mbah Habib Sholeh Semendi ini ngajar ngaji kali pertama di sini. Bahkan, Mbah Hamid juga dulu ngajinya juga di masjid ini,” ungkapnya.
Pengurus masjid juga menemukan beberapa peninggalan barang antik yang menandakan bahwa Masjid Jami’ Baitul Atiq Winongan berusia sudah ratusan abad. Salah satunya adalah peninggalan kendi tua yang memiliki tulisan huruf China di atasnya.
Menurut sekretaris masjid ini, kendi itu dulunya berada di ujung paling atas kubah Masjid Baitul Atiq Winongan.
“Karena masjidnya direnovasi, kendinya kami turunkan, tapi tetap disimpan di ruang sekretariat,” imbuhnya.
Rochim menyebut bahwa kendi tersebut diduga juga berusia hingga lebih dari 2 abad. Bahkan, saking tua kendi tersebut, dia menyebut bahwa warga yang keturunan Tionghoa yang paling tua di Winongan tidak bisa membaca tulisan dari huruf China di atas kendi.
“Orang keturunan China yang tua di sini saja tidak tahu artinya. Setelah dicari tahu sama salah satu warga, ternyata tulisan itu tulisan yang pakai huruf China kuno,” jelasnya.
Menurut Rochim, setelah melakukan riset dengan mencari literatur di internet, warga menemukan informasi bahwa disinyalir tulisan kuno pada gentong atau kendi sama dengan tulisan yang ada pada zaman Dinasti Qing.
Nah, Dinasti Qing sendiri adalah dinasti kekaisaran terakhir di wilayah China yang kekuasaannya berlangsung antara 1644 hingga 1912 Masehi.
“Dulu kan orang China ke Indonesia datang untuk berdagang. Pasuruan kan juga dulunya pelabuhan terbesar. Jadi mungkin gentongnya dibawa langsung dari China,” ucapnya.
Rochim menambahkan, menurut cerita para sesepuh desa, Masjid Baitul Atiq ini konon katanya adalah masjid tiban. Nah, tiban sendiri dalam bahasa Jawa berarti tiba-tiba. Sehingga dalam kepercayaan masyarakat setempat, masjid tiban konok diyakini sebagai masjid yang tiba-tiba ada berdiri dengan cepat tanpa diketahui pasti kapan proses pembangunannya dan siapa pihak yang membangun.
Menurut Rochim, dulunya pada saat awal berdiri masjid ini seluruhnya terbuat dari kayu.
“Kalau dulu awal, ukurannya ya sangat kecil, mungkin hanya seluas empat cagak tiang kayu ukuran beberapa meter saja,” ujarnya.
Namun, seiring perkembangan zaman, Masjid Baitul Atiq Winongan terus direnovasi dan diperluas. Hingga saat ini ukuran Masjid Baitul Atiq Winongan sudah memiliki luas 25×25 meter. Namun, sekarang ukuran masjid sudah berubah 25×25 meter pasca renovasi terakhir sejak 2000 lalu.
“Direnovasi terus karena untuk menampung jamaah yang terus bertambah, sekarang bisa nampung 1.000 orang,” tuturnya.
Meski punya bukti-bukti sejarah yang kuat sebagai salah satu masjid tertua di Kabupaten Pasuruan, menurut Rochim, belum ada akademisi atau pihak dari pemerintah setempat yang melakukan riset langsung terkait sejarah berdirinya Masjid Baitul Atiq Winongan.
Karena itu, dia berharap suatu saat ada pihak yang tertarik untuk meneliti sejarah masjid ini agar diketahui pasti kapan masjidnya kapan didirikan.
“Makanya ini barang-barang peninggalannya kami masih simpan dengan baik sebagai bukti sejarah berdirinya Masjid Baitul Atiq,” ujarnya.