TUBAN, Tugujatim.id – Titian tua yang bertahan melintangi Sungai Bengawan Solo itu kini kondisinya semakin memperihatinkan. Masyarakat sekitar akrab menyebut jembatan yang menghubungkan Lamongan-Tuban tersebut dengan Cincin Lawas. Sebuah jembatan yang jadi saksi bisu penjajahan Belanda di Tanah Jawa.
Kini, jembatan yang terletak di Desa Ngadipuro, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban itu seakan tersia-siakan. Suara alas kayu yang reyot berderak merdu saat pengendara roda dua melintasi papan-papan kayu jembatan. Konstruksi besi jembatan peningalan Belanda itu juga terlihat aus termakan zaman dengan karatnya di sana-sini.
Baca Juga: Kala Mahasiswa S3 Asal Blitar Produksi Arang untuk Bertahan di Masa Pandemi
Kurangnya perhatian dari pemerintah membuat konstruksi jembatan itu banyak yang rusak. Saat melewatinya, terasa adrenalin memuncak. Terlebih lagi saat musim penghujan. Bahkan saat malam hari di mana penerang jembatan hanya terdapat pada pintu masuk dan keluar.
Ainul Murthadho pegiat sejarah setempat yang ditemui di lokasi menjelaskan bahwa jembatan ini sudah ada sejak era kolonial. Untuk waktu pembangunan tak ada yang tau pasti.
“Sudah ada sejak zaman Belanda, Tak ada yang tau pasti kapan pembangunanya,” ungkap Ainul Murthadho saat ditemui Tugu Jatim, Jumat (11/12/2020) di bantaran Sungai Bengawan Solo dekat jembatan.
Dulunya, selain jadi akses utama kendaraan roda dua, Cincin Lawas juga terdapat lintasan kereta api yang melintang. Namun, rel tersebut sudah ditutup sejak tahun 1980. Ainul, yang juga lulusan Sejarah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya tersebut menjelaskan bahwa rel-rel kereta yang seharusnya berada di jembatan itu kini sudah tak tersisa karena diambil oleh oknum tak bertanggung jawab.
Baca Juga: 6 Rekomendasi Drama Saeguk, Drama Korea Berlatar Belakang Kerajaan
“Dulu juga ada rel kereta apinya juga. Namun sudah ditutup tahun 1980. Rel keretanya banyak diambili,” jelas Ainul Murthadho sambil menunjukan beberapa alas kayu yang rusak.
Lebih lanjut Ainul yang juga mantan ketua Ikatan Mahasiswa Ronggolawe menjelaskan, bahwa jembatan yang tingginya sekitar tujuh meter dari permukaan sungai bengawan solo itu diperbaki sendiri oleh swadaya masyarakat bila terjadi kerusakan parah.
Sementara itu, Cicik Nur Faiqoh yang juga warga sekitar. Berharap semoga pemerintah lebih memperhatikan dan merawat jembatan itu. Bagaimana pun masyarakat masih sering melintasi jembatan sebagai akses tercepat ke Babat Lamongan.
“Semoga dapat perhatian lebih dari pemerintah, toh jembatan ini masih sering dilintasi masyarakat untuk pergi ke Pasar Babat” Ujar Faiqoh. (Agus Set/gg)