Oleh: Fuji Astutik MPsi, Dosen Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang
MALANG, Tugujatim.id – Lebaran identik dengan peleburan dosa dan momentum untuk saling maaf-maafan. Ada banyak cara yang dilakukan masyarakat untuk meminta maaf sesuai situasi dan kondisinya. Ada yang datang bertemu langsung dengan protokol kesehatan (prokes), ada yang melalui Zoom atau aplikasi lain, dan ada juga yang sekadar berbagi pesan melalui media sosial. Apa pun bentuknya, semua adalah cara untuk bisa dimaafkan dari rasa bersalah.
Namun, dari sekian banyak cara yang dilakukan masih ada beberapa orang yang meminta maaf karena memang Lebaran adalah momentum. Mereka meminta maaf bukan karena ada salah atau menyadari kesalahan apa yang dilakukan. Jadi, meminta maaf dilakukan tanpa mengetahui apa yang menjadi permasalahannya, tapi meminta maaf hanya untuk mengikuti tradisi semata.
Hasil dari survei yang dilakukan kepada 100 orang yang mengisi form jawaban ditemukan bahwa mereka yang mengetahui dan menyadari mengapa harus meminta maaf pada seseorang, merasakan kehidupan yang lebih baik dan bermakna setelah adanya Lebaran Idul Fitri. Sebaliknya, mereka yang sekadar meminta maaf tanpa menyadari atau sekadar mengikuti tradisi saja merasakan biasa saja tidak ada makna di dalamnya.
Oleh karena itu, Lebaran adalah situasi meminta maaf akan menjadi lebih bermakna jika di dalamnya diikuti oleh kesadaran penuh dengan mengetahui alasan meminta maaf. Kesalahan apa yang dilakukan sehingga seseorang harus meminta maaf.
Meminta maaf dengan tulus bukan untuk mendapatkan apresiasi atau sekadar pujian dari orang lain. Tapi, meminta maaf karena menyadari bahwa sebagai manusia semua ada kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan itu.
Ketika kita mampu untuk meminta maaf dengan cara tepat akan merasakan kehidupan yang lebih baik. Terhindar dari rasa bersalah dan lebih sehat secara mental dan psikologis. Meminta maaf juga idealnya diikuti dengan tidak melakukan kesalahan yang baru. Seseorang yang sudah sehat secara mental dan psikologis, dia akan cenderung berperilaku secara positif ke depannya. Jika setelah minta maaf masih ada rasa bersalah dan tetap melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, artinya ada yang salah dari cara kita meminta maaf.
Meminta maaf yang tulus juga terjadi ketika kita tidak lagi peduli apakah orang itu akan merespons dengan positif, bukan lagi ke arah sana, tapi kita meminta maaf karena secara sadar kita mengerti bahwa ada kesalahan dan menyadari juga bahwa orang lain berhak untuk memberi maaf atau menolak permintaan maaf kita. Sebagai orang yang meminta maaf, fokus kita bukan pada pemberian maaf tapi pada ketulusan dari dalam diri kita. Semoga permintaan maaf yang telah kita lakukan menjadi jalan menuju sehat mental dan psikologis terbebas dari rasa bersalah. (*)