Oleh : Ir. Joko Roesmanto dkk*
Tugujatim.id – Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) yang didirikan tanggal 9 Juli 1887 dengan nama “Het Proefstation Oost Java (POJ)” merupakan lembaga riset pergulaan di Indonesia yang memiliki sejarah panjang, dan hingga kini sudah berusia 134 tahun.
Sebagai satu-satunya lembaga penelitian di Indonesia yang khusus meneliti gula dan pemanis, mulai dari sektor on farm, off farm hingga konsep kebijakan pergulaan nasional yang didukung pengalaman riset yang panjang (134 tahun). Kedekatan dengan industri gula (Pabrik Gula/PG) dan petani, kepemilikan flasma nutfah tebu terbesar dan terlengkap di Indonesia (bahkan dunia).
Sarana laboratorium yang lengkap dan memiliki Kebun Percobaan (KP) yang tersebar di lokasi agroklimat yang berbeda serta didukung SDM yang berpengalaman dan ahli dibidangnya. Seharusnya dapat menjadi lembaga riset non profit berkelas dunia yang dapat memberikan kontribusi penting dan nyata bagi iklim pergulaan nasional, regional dan internasional yang lebih baik.
Sayangnya, prestasi tersebut di atas tidak dapat dicapai oleh P3GI sebagai akibat dari situasi dan kondisi internal lembaga yang sangat memprihatinkan, yang merupakan konsekuensi dari adanya kebijakan yg tidak tepat atau salah kelola lembaga riset perkebunan.
Secara spesifik, salah kelola ini merupakan rentetan peristiwa diambil alihnya P3GI dari yang semula merupakan milik pemerintah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1958 tentang ‘Penempatan Perusahaan-Perusahaan Perkebunan Pertanian Milik Belanda di Bawah Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia’.
Kemudian dikelola oleh swasta murni (pure pivate), yaitu PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) yang berkedudukan di Bogor. Dengan demikian, P3GI harus mengubah paradigma dari cost center menjadi profit center yang mana kondisi ini hampir tidak terjadi di lembaga penelitian manapun di dunia ini.
Akibatnya, P3GI memperlakukan hasil-hasil riset bukan lagi sebagai public goods, karena harus bersusah payah mencari pendapatan sendiri untuk biaya operasional lembaga. Kondisi ini berakibat pada kemampuan P3GI yang menurun dalam melaksanakan riset terapan untuk kepentingan para pemangku kepentingan industri gula. Apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka kemampuan P3GI yang under capacity dapat memperburuk pergulaan nasional karena tidak ada lagi dukungan riset yang handal.
Oleh karena itu, diperlukan campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan lembaga riset gula peninggalan Belanda, yang sekarang dikelola oleh swasta. Penertiban aset-aset negara yang dikuasai swasta menjadi penting, karena setelah kemerdekaan RI, P3GI dinasionalisasi menjadi lembaga milik pemerintah. Oleh karena terjadi salah kelola dan sekarang jatuh ke tangan swasta, maka kepemilikan P3GI harus ditertibkan dan dikembalikan lagi menjadi milik negara, dikelola secara benar dan profesional.
P3GI Dikelola Negara
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Idonesia (P3GI) yang berada di Kota Pasuruan Jawa Timur mengalami dinamika pengelolaan yang silih berganti. Tahun 2002 terjadi peleburan lembaga pengelola P3GI yaitu Asosiasi Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (AP2GI) dengan Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia (AP3I), menjadi Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI) sesuai dengan Akte Notaris Ny. Yetty Taher SH No. 5 tanggal 23 Desember 2002.
Dalam melaksanakan kegiatan riset, APPI membentuk Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) yang mengelola lima Pusat Penelitian Perkebunan dan satu Balai Penelitian yaitu:
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, Pusat Penelitian Karet (PPK) Sembawa-Sumatera Selatan, Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung-Bandung, Pusat Penelitian Kopi Kakao (PPKK) Jember, dan Balai Penelitian Bioteknologi Bogor.
Keberadaan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) sebagai pengelola Puslit Puslit Perkebunan yg dibentuk oleh APPI, adalah sah dan diakui keberadaanya oleh pemerintah. Hal ini terbukti bahwa pada tahun 2008 Menteri Pertanian menerbitkan Keputusan Nomor 143/Kpts/LB.310/2/2008 tentang ‘Penunjukan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) untuk Melaksanakan Penelitian di Bidang Perkebunan Mendukung Revitalisasi Perkebunan Indonesia’ dan salah satu keputusan dimaksud adalah: “Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana diktum kesatu dibebankan kepada Anggaran Departemen Pertanian”.
Tahun 2009 Menteri Pertanian menerbitkan Surat Keputusan No. 785/Kpts/PD.300/2/2009 tanggal 17 Februari 2009 yang isinya mencabut kewenangan pengelolaan Balai/Pusat Penelitian di Bidang Perkebunan oleh Asosiasi, dan selanjutnya pengelolaan Balai/Pusat Penelitian di bidang perkebunan dikelola oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Pertanian Departemen Pertanian.
Diambil Alih Swasta Murni
Di tahun yang sama Direksi PTPN IV selaku kuasa Direksi PTPN I s/d XIV dan PT RNI (Persero) mengajukan surat ke Meneg BUMN No. 04.01/X/180/IX/2009 tanggal 29 September 2009 untuk mendirikan PT. Riset Perkebunan Nusantara (RPN), dengan super cepat (pengajuan tanggal 29 September 2009 disetujui tanggal 30 September 2009). Menteri Negara BUMN menyetujui pengajuan pendirian PT.
Riset Perkebunan Nusantara (RPN) sebagai transformasi dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) melalui surat Nomor S-713/MBU/2009. Pada kenyataannya, kewenangan APPI dalam mengelola Puslit perkebunan sudah dicabut terlebih dahulu oleh Menteri Pertanian dan diserahkan ke Badan Litbang Pertanian.
Menindaklanjuti persetujuan Menteri Negara BUMN di atas, Direksi PTPN I s/d XIV dan PT. RNI (Persero) pada tanggal 20 Nopember 2009 mendirikan PT. Riset Perkebunan Nusantara (RPN), dan dikukuhkan dengan Akta Notaris Hasbullah Abdul Rasyid, S.H., M. Kn. Nomor 1 tanggal 20 Nopember 2009.
Dalam Akta Pendirian PT RPN tidak ada satu patah katapun yang menyebutkan bahwa Puslit-Puslit Perkebunan (Puslitbun) dan Balai Penelitian Bioteknologi merupakan bagian dari PT RPN (termasuk P3GI). Jadi, secara hukum Puslitbun dan Balai Penelitian Biotek, bukan apa-apanya (baca: bukan bagian dari) PT RPN.
Pada tahun 2010 tepatnya tanggal 5 Pebruari 2010 di Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta terjadi rapat maraton antara: Dewan Penyantun LRPI, Rapat Anggota APPI dan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang saham pendiri PT. RPN dengan keputusan sebagai berikut: (1) Rapat Dewan Penyantun LRPI merekomendasikan: segala hak dan kewajiban APPI dan LRPI beralih kepada PT RPN; dan aset yang sebelumnya dikelola oleh APPI diserahkan kepada PT RPN untuk diproses lebih lanjut, sehingga dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh PT RPN.
(2) Rapat Anggota APPI, Keputusan Nomor 03/RA-APPI/LB/2010, yaitu: segala hak dan kewajiban APPI dan LRPI beralih kepada PT RPN; aset yang sebelumnya dikelola oleh APPI diserahkan kepada PT RPN untuk diproses lebih lanjut sehingga dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh PT RPN; (3) Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (Pertama) meratifikasi pengangkatan Direktur Perseroan dan Komisaris Utama serta Komisaris Perseroan.
Keputusan RA APPI dalam menyerahkan aset (Barang Milik Negara) kepada perusahaan swasta PT. RPN adalah pelanggaran terhadap: (1) UU RI No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dan (3) Permenkeu No 111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara. Kenyataan sebelumnya menunjukkan bahwa, kewenangan APPI sudah dicabut oleh Menteri Pertanian pada pertengahan Februari 2009.
Perubahan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PT RPN tanggal 12 Juli 2012, melalui Akta Notaris Yulianti Irawati, S.H. Nomor 7 sebagai pengganti Akta Notaris NM Dipo Nusantara Pua Pua, S.H., M.Kn.; menyebutkan (Pasal 2) bahwa “Perseroan memiliki unit kerja Puslit-Puslit Perkebunan terdiri dari (a) Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang berada di Medan, (b) Pusat Penelitian Karet (PPK) yang berada di Bogor, (c) Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) yang berada di Gambung, (d) Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) yang berada di Pasuruan, (e) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) yang berada di Jember dan (f) Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) yang berada di Bogor, pengesahannya ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Swasta Murni Berlanjut
Tujuh tahun kemudian (tahun 2019) PT RPN mengubah lagi Anggaran Dasar (AD) nya dan disyahkan oleh Kemenhukham Nomor AHU-0019281.AH.01.02 Tahun 2019 tanggal 9 April 2019, dan dalam AD yang baru ini P3GI disebutkan sebagai salah satu dari kantor cabang PT RPN.
Menunjuk UU No 15 tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2018 Pasal 32 Ayat (1) yang berbunyi: Dalam rangka meningkatkan kapasitas usaha terutama di bidang penelitian, pengembangan dan penyediaan benih perkebunan, pemerintah melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) yang berasal dari Barang Milik Negara (BMN) Kementerian Pertanian yang dimanfaatkan oleh PT. Riset Perkebunan Nusantara.
Patut dicermati dan dipertanyakan tentang Barang Milik Negara Kementerian Pertanian yang dimanfaatkan oleh PT. Riset Perkebunan Nusantara. Barang Milik Negara Kementerian Pertanian adalah barang peninggalan Belanda yg di nasionalisasi yang selama ini dimanfaatkan oleh Puslit2 Perkebunan, sedangkan PT RPN baru berdiri tahun 2009 dan belum pernah ada atau terbit Peraturan Pemerintah yg menyerahkan kewenangan pemanfaatan BMN kepada PT RPN selain Keputusan RA APPI tahun 2010.
Berkaitan dengan Pasal 32 Ayat (1) UU No 15 tahun 2017 tersebut, Direksi PT RPN menindaklanjuti permintaan Kementerian Pertanian agar Direktur Puslit Perkebunan menyerahkan sertifikat BMN melalui Direksi PT RPN untuk diproses sebagai PMN, tahun 2018 Direktur Utama PT RPN dalam rangka tertib pengelolaan BMN dan menyiapkan kelengkapan dokumen administrasi dalam rangka proses PMN menyerahkan aset BMN kepada Kementerian Pertanian, dengan bukti Berita Acara Serah Terima Sertifikat Tanah Nomor: B-350/ PL.210/H/04/2018.
Entitas Holding Perkebunan
Menindaklanjuti UU RI No 12 Tahun 2018 tentang APBN Tahun Anggaran 2019 pasal 33 ayat (1) yang berbunyi: Dalam rangka meningkatkan kapasitas usaha terutama di bidang penelitian, pengembangan dan penyediaan benih perkebunan, pemerintah melakukan PMN kepada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) yang berasal dari Barang Milik Negara Kementerian Pertanian yang dimanfaatkan oleh PT. Riset Perkebunan Nusantara.
Untuk hal ini, Pemerintah menerbitkan PP RI Nomor 79 Tahun 2019 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan Terbatas PT. Perkebunan Nusantara III. Implikasi dari PP tersebut adalah PT RPN secara hukum sah menjadi anak perusahaan PTPN III (Persero) non PTP, dan P3GI beserta Puslitbun yang lain sebagai kantor cabang PT RPN menjadi “cucu” PTPN III (Persero).
Sebagai entitas dari holding perkebunan, PT RPN yang merupakan anak perusahaan holding perkebunan PTPN III (Persero) dan pada saat yang bersamaan menguasai lima Pusat Penelitian Perkebunan (Puslitbun) dan satu Balai Penelitian; seharusnya menjadi perusahaan induk yang mengambil alih aspek (baca: kesulitan) finansial maupun non finansial kantor cabangnya.
Pada kenyataannya, kasus di P3GI menunjukkan bahwa tidak ada perubahan menuju kondisi yang lebih baik, bahkan P3GI semakin terpuruk. Hal ini direfleksikan melalui: terlambatnya gaji karyawan aktif, terlambatnya iuran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, dan tidak dibayarnya hak-hak normatif pensiunan. Kondisi semacam ini, sangat dirasakan karyawan aktif maupun pensiunan sejak tahun 2012 hingga sekarang. Walaupun saat ini P3GI ada kegiatan baik penelitian maupun non penelitian, akan tetapi hasil kegiatan tersebut habis digunakan untuk membiayai operasional lembaga, bahkan masih mengalami kekurangan dan tidak menyelesaikan persoalan yang mendasar.
Lepas Tangan
Di lain pihak, PT RPN sebagai perusahaan induk dan sebagai anak perusahaan holding BUMN perkebunan, memiliki kedudukan yang setara dengan PTPN I s/d XIV, dan oleh karena itu P3GI merupakan “cucu” holding BUMN perkebunan. Namun ternyata dalam banyak hal, PT RPN sering bersikap ‘lepas tangan’ terhadap permasalahan kantor cabang (khususnya P3GI), dengan mengutarakan pernyataan: ‘PT RPN tidak punya uang’, ‘PT RPN bukan penghasil uang, namun Puslit lah penghasil uang dimaksud’, ‘ diibaratkan PT RPN hanya akan membantu kail, bukan ikan kepada Puslit’, dan sejenisnya. Sementara itu, P3GI memerlukan ‘kapal penangkap ikan yang canggih dengan nahkoda yang profesional dan memiliki kompetensi’, sehingga mampu “menangkap ikan” untuk menghidupi lembaga.
Reposisi
Berdasarkan kenyataan riil di atas, pengelolaan P3GI oleh perusahaan swasta murni perlu direposisi, dan untuk melaksanakan ini campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Pengelolaan P3GI harus dikembalikan ke negara, agar P3GI menjadi lembaga penelitian yang kuat dan profesional, serta mampu memberikan manfaat kepada seluruh pemangku kepentingan pergulaan.
*Turut berkontribusi dalam tulisan ini Hidayat Dhalmawinarta, S.E, Cung Ali Joko Susanto, dan Edi Purwito. Mereka adalah para koordinator Pensiunan Karyawan P3GI.