MALANG, Tugujatim.id – Setiap manusia setiap hari melakukan perjalanan, baik perjalanan berangkat maupun pulang. Dan dalam perjalanan tersebut, setiap manusia atau individu sering kali merasakan hal yang cukup berbeda, yakni perjalanan berangkat terasa lebih lambat daripada perjalanan pulang atau kembali ke titik awal. Bagaimana menurut ilmu psikologi?
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang (UM) Gebi Angelina Zahra SPsi MPsi mengatakan itu merupakan sebuah persepsi dari setiap manusia. Mengapa hal itu terjadi? Gebi menjelaskan jika seseorang yang melakukan perjalanan berangkat dan untuk menuju ke tempat yang dituju tidak mengetahui rutenya sama sekali, maka individu itu tidak mengetahui posisinya di mana.
“Saat perjalanan berangkat, apalagi kalau tempatnya baru, kita di posisi yang tidak tahu rutenya sama sekali. Nah, di kondisi perjalanan itu ada yang namanya persepsi terhadap tempat yang namanya landmark. Jadi, landmark itu kita melihat, jika ada tanda di tempat itu, oh ini ada tandanya di tempat A, oh ada bangunan ini. Sehingga saat mencari landmark-nya, kita tidak tahu bahwa posisi sudah dekat atau masih jauh. Karena kita nggak punya landmark,” ungkap Gebi kepada Tugu Jatim, Rabu (07/06/2023).
Dia juga mengungkapkan, sering kali ketika individu atau seseorang itu ketika berangkat benar-benar tidak mengetahui clue tempat sama sekali sehingga posisi rute yang dia lalui tidak diketahui langsung.
“Nah, ketika berangkat kita benar-benar clueless atau tidak punya clue tempat sama sekali. Posisi saya di rute ini ada di sebelah mana,” katanya.
Namun ketika kembali ke tempat yang merupakan lokasi di mana seseorang itu berangkat, maka seorang individu itu sudah mengenal landmarknya atau tanda. Sehingga seorang individu tersebut lebih familier dengan jalan di mana dia kembali pulang.
“Ketika kembali kita sudah lihat di jalan ini nanti ada bangunan ini, jalan ini nanti ketemu Indomaret atau bangunan apa. Sehingga ketika kita pulang sudah tahu landmark-nya. Sehingga ketika pulang merasa cepat,” beber Gebi.
Bagaimana Korelasi Persepsi dengan Kecemasan?
Sementara itu, ketika persepsi tersebut dikorelasikan dengan kecemasan, psikolog UM ini mengatakan persepsi tersebut sifatnya netral. Gebi mengatakan, persepsi itu bisa dimaknai dari adanya tangkapan hasil dari panca indera setiap manusia.
Dia mencontohkan saat manusia masih balita, setiap orang tua mengenalkan banyak ragam bentuk, baik itu bentuknya bulat, kotak, persegi panjang, atau banyak bentuk lainnya. Pengenalan beragam label dari semenjak kita kecil hingga dewasa itu merupakan sebuah persepsi.
“Sebenarnya persepsi itu bersifat netral. Persepsi itu bagaimana kita memaknai hasil yang ditangkap oleh panca indera. Orang tua atau lingkungan mengajarkan kita oh itu pintu, oh itu bulat mengeluarkan cahaya. Nah, label-label kayak gini adalah pintu, atau lampu, itu adalah persepsi,” beber Gebi.
Bagaimana Menyikapi Persepsi
Setelah mengenal tentang persepsi, step berikutnya menurut Gebi adalah bentuk sikap seorang individu. Sikap tersebut terdiri dari dua, yakni sikap positif dan sikap negatif. Level sikap dalam menyikapi sebuah persepsi biasanya mengarah ke bentuk kesukaan atau ketidaksukaan.
“Setelah persepsi itu, ada next step-nya yaitu ada yang namanya sikap. Kalau sikap itu ada yang positif dan negatif sehingga kalau dibilang persepsi saya positif atau negatif itu sudah label yang di atasnya nama dari suatu benda itu tadi. Itu sudah mengarah ketidaksukaan atau kesukaan sehingga mengarah ke sikap,” ungkapnya.
Tips agar Persepsi Positif Sering Dirasa
Dosen psikolog UM ini juga memberi tips bagaimana agar setiap individu mampu mengelola persepsi agar bisa ke arah positif. Adalah konsistensi, mengapa konsistensi persepsi harus terus dikelola dengan baik? Gebi menjelaskan bahwa sikap persepsi terbentuknya sangat beragam.
“Sikap itu terbentuknya macam-macam bisa dari pengalaman masa lalu. Ibaratnya seperti naik pesawat, naik pesawat sebelumnya itu kayak biasanya tidak ada takutnya. Persepsi kita ya biasa-biasa saja, netral aja gitu, tapi ketika naik pesawat lalu terjadi turbulensi parah, menghadirkan perasaan yang berbahaya. Akhirnya keluar sikap negatif, takut naik pesawat. Ketika pengalaman itu diulang sehingga sikap ini bisa berubah menjadi positif,” ungkap Gebi.
Demikian juga di kehidupan, Gebi mencontohkan saat seorang individu misalnya tidak suka bertemu dengan orang yang tidak dia suka, ternyata orang ini berbuat baik kepada kita, kemudian sikap tiba-tiba berubah positif. Maka kita pelan-pelan akan secara sukarela mengubahnya.
“Kita juga tidak bisa bergantung pada kondisi yang tidak sengaja terus. Kalau kita punya sikap yang negatif dan sukarela mengubahnya ya coba pengalaman itu dengan menambahkan terus-menerus di kondisi yang berbeda, harus konsisten,” tambahnya.
Apa Saja Dampak Positif dari Persepsi?
Dari persepsi negatif menjadi persepsi positif, nyatanya juga memberikan dampak positif. Gebi menuturkan bahwa dalam diri setiap manusia itu sangat kompleks dan banyak variabelnya.
Dari banyaknya variabel itu, jika dalam diri manusia atau seorang individu tersebut bisa memiliki rasa percaya, maka akan terbangun hal yang positif.
“Sikap dalam diri manusia itu tidak saklek. Ibaratnya seperti naik pesawat, kita takut, persepsi kita negatif, tapi kemudian tahu bahwa maskapai A ini pilotnya orang luar negeri yang punya pengalaman tinggi, sikap kita bisa berubah karena punya ‘believe‘ atau kepercayaan pada pilot,” ujarnya.