MALANG, Tugujatim.id – Kasus sengketa tanah antara Pemkot Malang dengan warga di kawasan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, terus bergulir. Dalam sengketa ini, Pemkot Malang digugat H. Agung Mustofa yang juga mengklaim punya hak atas tanah seluas 3.269 m² di kawasan Velodrome ini.
Sementara itu, tanah yang diklaim sebagai aset Pemkot Malang seluas 1.441 m² termasuk di dalam luasan tanah yang diklaim warga tersebut. Lahan yang masih berupa tanah kosong ini terletak di sisi barat Velodrome, sebelah SDN Madyopuro 2 Kota Malang.
Status kepemilikan tanah ini disengketakan sejak 20 Oktober 2020 lalu. Kini pada Rabu (16/06/2021), dilakukan rangkaian persidangan, yakni Pemeriksaan Setempat (PS) di lokasi dengan menghadirkan seluruh pihak terlibat bersama tim Panitera Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang.
Usai proses itu, H. Agung Mustofa selaku penggugat tetap meyakini bahwa tanah itu adalah milik orang tuanya, Hj. Chutobah yang dibeli dari peranakan China pada 1995. Dia masih mempertanyakan kronologi tanah yang diakuinya ini bisa jadi tanah aset pemerintah tanpa ada persetujuan dengan dirinya.
”Saat itu masih berupa petok D, lalu pada 1996 saya sertifikatkan jadi 3. Total luasnya sekitar 4.800 m² dan dimiliki sekitar 25-30 kepemilikan. Ini tiba-tiba kok diakui ada hak pakai,” bebernya.
Agung menjelaskan, selang tahun kemudian, tanah ini diakui sebagai aset Pemkot Malang yang dibeli dari program proyek nasional, perumnas sekitar tahun 1980-an.
”Itu salah total karena desa saat itu tidak punya tanah. Bisa dibuktikan dari kumpulan Letter C, bukan saya ujug-ujug ngaku punya saya. Sejarahnya saya juga tahu,” paparnya.
”Itu yang saya tahu bukti pembelian ini cuma berupa pencoretan Letter C. Orang tua saya dianggap sudah menjual ke perumnas. Tapi, saya minta bukti Letter C tidak ada. Ini sekelas perumnas masak gak punya bukti,” gugatnya.
Sejarah Status Tanah Bermula dari Tanah Bekas Dai Nippon
Terpisah, terkait sejarah status tanah ini, kuasa hukum penggugat M. Khalid Ali menjelaskan, dulunya seluruh tanah di kawasan ini adalah tanah Bekas Dai Nippon (BDN). Tanah dikuasai oleh Jepang semasa zaman penjajahan yang rencananya akan dibangun jadi Bandar Udara Srundeng.
”Akhirnya, rakyat di desa yang punya tanah itu terusir dari sini karena diminta secara paksa. Baru setelah kemerdekaan, status tanah itu di buku desa dinamai tanah BDN,” kisahnya.
Seiring bergulirnya zaman, administrasi pertanahan baru bisa maksimal pada 1960-an. Tanah BDN, dia mengatakan, hanya ada di Kota Malang ini yang lalu jadi objek perumnas pada 1980-an. Semua tanah BDN dibeli (saat itu era pemerintahan Wali Kota Ebes Sugiyono) dan jadilah Sawojajar.
Di saat itulah, para warga yang sebelumnya merasa memiliki tanah BDN berbondong-bondong mengurus proses sertifikasi tanah, dari yang semula SHGB jadi SHM pada 1996, termasuk penggugat.
Tapi, selama pengajuan sertifikasi ini, penggugat tidak dapat kuota dengan dalih luasan tanah yang terlalu besar hingga kuota penuh. Hingga kemudian saat akan diurus lagi, Ali mengatakan, tiba-tiba tanah ini statusnya ditetapkan jadi tanah aset Pemkot Malang dengan sertifikasi hak pakai.
”Hingga akhirnya lahirlah gugatan ini. Kami anggap bahwa Pemkot Malang dinilai telah melakukan pelanggaran hukum karena melawan UU, dasarnya kita UU No 1 Tahun 1958, sebelum ada UU Pokok Agraria,” tegasnya.
Isi UU tersebut, menurut Ali, bahwa intinya jika ada warga yang bisa membuktikan kepemilikan tanah itu, maka negara berhak memberikan tanah kepada pemiliknya.
“Itulah dasar kami mengajukan gugatan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Mari kami tunggu di pembuktikan bersama nanti,” ujarnya.
Pemkot Malang: Tanah Itu Sudah Dijual ke Perumnas
Kepala Bagian Hukum Pemkot Malang Suparno selaku tergugat mengatakan, tetap berpegang pada sertifikat hak pakai atas nama Pemkot Malang No 51 seluas 1.441 m². Buktinya, tanah ini sesuai data di buku Letter C, telah dijual ke perumnas.
”Saksi dan bukti sudah jelas dan kuat. Selain bukti sertifikat, akan kami perkuat alat bukti Letter C yang pasti tercatat di kelurahan,” ungkap dia pada awak media usai PS, Rabu (16/06/2021).
Dalam hal ini, pihaknya fokus pada upaya klaim tanah seluas 1.441 m² dari total luasan versi penggugat yaitu 3.260 m². Rencananya, di tanah yang ditetapkan sebagai RTH ini akan diperuntukkan untuk lapangan SDN Madyopuro 2.
”Hasilnya belum. Kebenarannya nanti kami akan melakukan pembuktian bersama pada 22 Juni 2021 di persidangan selanjutnya,” ujarnya.