SURABAYA, Tugujatim.id – Beberapa waktu lalu Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda pelaksanaan vaksinasi dari vaksin AstraZeneca karena menunggu keputusan resmi dari World Health Organization (WHO) mengenai efek samping yang terkandung dalam vaksin tersebut.
Seperti dalam catatan media massa, sampai 8 Maret 2021 ditemukan 15 kasus DVT (pembekuan darah di vena dalam) pada sekian negara di Eropa, 22 kejadian emboli paru pada penerima vaksin AstraZeneca di Inggris dan negara Uni Eropa. Sehingga pada 15 Maret 2021, sejumlah negara Eropa menangguhkan penggunaan vaksin AstraZeneca sembari menunggu proses penyelidikan yang berjalan.
Menanggapi hal tersebut, guru besar (gubes) Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr C.A. Nidom menyampaikan perbedaan antara vaksin sinovac dan vaksin AstraZeneca. Dia menerangkan bahwa perbedaan itu terletak dalam bentuk platform vaksin.
“Beda antara kedua vaksin terletak pada platform-nya. Kalau sinovac itu vaksin dengan isi virus Covid-19 yang telah diinaktivasi, sedangkan AstraZeneca berisi mRNA yang setelah disuntikkan akan menghasilkan protein Spike dari virus Covid-19,” terang Prof Nidom pada Tugu Jatim, Selasa sore (16/03/2021).
Selain itu, Prof Nidom juga menegaskan bahwa vaksin AstraZeneca sendiri saat ini sudah sampai di Indonesia atas bantuan WHO. Sebanyak 1,1 juta vaksin AstraZeneca sudah tiba di Indonesia pada 8 Maret 2021. Pemerintah pun memperoleh jatah vaksin itu melalui jalur COVAX.
COVAX sendiri merupakan kerja sama multilateral yang ingin memastikan bahwa semua orang di dunia dapat memperoleh vaksin Covid-19. Untuk efikasi vaksin AstraZeneca, Prof Nidom menerangkan sekitar 80-90 persen.
“AstraZeneca sekarang sudah di Indonesia karena bantuan WHO. Sedangkan efikasi (pembentukan imun dan antibodi tubuh, red) vaksin AstraZeneca itu sekitar 80-90 persen,” tuturnya.
Menanggapi isu dan kasus pembekuan darah pasca pemakaian vaksin AstraZeneca, Prof Nidom menyampaikan analisisnya bahwa kejadian itu disebabkan atas protein liar yang tidak sesuai dengan desain.
“Tentang isu pembekuan darah, meskipun belum ada publikasi resmi, itu mungkin saja terjadi. Hal itu kemungkinan disebabkan mRNA dari vaksin AstraZeneca menghasilkan protein ‘liar’, tidak sesuai dengan yang didesain,” jelasnya.
Adanya protein baru yang diinjeksikan itu, Prof Nidom menjelaskan, berpengaruh memunculkan semacam “immune thromboplastine” yang kemudian mengakibatkan pembekuan darah.
“Jadi, protein baru ini berpengaruh terhadap munculnya ‘immune thromboplastine’ sehingga terbentuk platelet-platelet yang akan menjadi trombosis (pembeku darah, red). Kelainan ini diduga berkaitan dengan ‘autoimmune’ serta ‘carrier autoimmune’,” tegasnya.
Prof Nidom juga menegaskan bahwa seluruh vaksin yang didistribusikan merupakan bentuk uji coba yang masih belum final. Mengenai sertifikasi vaksin AstraZeneca, Prof Nidom menimpali bahwa belum memperoleh sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan reputasi keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Vaksin apa saja adalah satu dari sekian banyak upaya untuk mengatasi pandemi Covid-19, belum ada satu pun vaksin yang menunjukkan hasilnya karena semua bersifat coba-coba (dalam uji coba, red). Untuk sertifikasi halal belum pernah dengar, demikian juga untuk izin BPOM-nya,” ujarnya.
Untuk diketahui, dilansir dari siaran resmi BPOM RI pada 9 Maret 2021, vaksin AstraZeneca didaftarkan ke BPOM melalui 2 jalur. Pertama, jalur bilateral yang didaftarkan PT Astra Zeneca Indonesia. Kedua, jalur multilateral melalui mekanisme COVAX Facility yang didaftarkan oleh PT Bio Farma. (Rangga Aji/ln)