MALANG, Tugujatim.id – Bicara Kota Malang, tak bisa lepas dari kawasan Kayutangan. Sebab, disanalah (kini Jalan Basuki Rahmat) jejak peradaban kota ini dimulai. Di sepanjang kawasan bekas pusat perniagaan utama zaman Hindia Belanda itu, berderet bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial yang masih kokoh berdiri hingga sekarang. Satu bangunan yang masih ada itu adalah Toko Riang.
Usia toko ini sudah mencapai sekitar 70 tahunan. Lokasi persisnya terletak di sebelum gedung bekas Bioskop Merdeka jika anda datang dari arah utara. Keberadaannya sebagai saksi bisu sejarah Kota Malang pun melekat. Usut punya busut, toko ini ternyata sempat beberapa kali beralih fungsi.
Reporter Tugu Malang ID beruntung, punya kesempatan berkunjung mendengar kisah nostalgia itu dari pelaku sejarahnya langsung, Endah Sumarni. Usianya beranjak 64 tahun. Namun Endah bukanlah pemilik asli. Pemilik asli gedung ini adalah keluarga peranakan China Asli Malang. Namanya Darwanto yang baru saja tutup usia pada 2001 lalu.
Endah sendiri sebenarnya bukan bagian anggota keluarga besar Darwanto. Hanya saja, Endah dan Darwanto-lah yang terlibat aktif mengurus segala tetek bengek aset bangunan mulai sejak awal berdiri. Sampai-sampai, Darwanto di akhir hidupnya memberi wasiat kepada Endah untuk terus menjaga ‘ruh’ Toko Riang seperti di masa jaya-jayanya dulu.
”Saya ini anak ‘ngapek’ (adopsi). Saya asli Blitar, tapi sejak kecil sudah di-apek sama Ko Darwanto, bantu-bantu almarhum mulai kecil. Sampe sekarang saya disini, karena diwasiati untuk merawat aset ini biar nafasnya tetap ada,” tutur Endah dengan semangat.
Dulunya, kata Endah, Toko Riang sudah berdiri sejak 1950-an. Menjadi jujugan warga untuk membeli palen atau kebutuhan sehari-hari, bedak, kain hingga daster hasil kerajinan tangan khas Malangan. Lalu, sekitar pada 1980-an toko ini disewakan menjadi toko buku. Namanya tetap tak berubah. Toko Buku Riang.
Beberapa tahun setelahnya, juga sempat jadi kantor pusat Bank BCA. Bukti otentiknya juga masih ada. Di belakang toko ada semacam ruangan kecil dengan pintu teralis besi. ”Itu dulu gudang uang. Ada kenop brankas juga dulu disitu,” ujar Endang menujuk pintu teralis besi di dekat dapur kafetaria.
Hingga kemudian sekitar pada 1993, barulah Toko Riang kembali jadi unit bisnis toko palen keluarga. Tapi, mulai sepi. Akhirnya, Alm. Darwanto menyekat toko menjadi dua bagian untuk dimanfaatkan sebagai kafetaria atau rumah makan sederhana.
Menunya sederhana, berupa makanan-makanan Jawa meski si pemilik berdarah Cina. Rasanya pun otentik karena dibuat dengan resep turun-temurun dengan perpaduan karakter khas Chinese Food. Seperti Nasi Goreng, Bakmie, Cap Cai, Nasi Telur, Nasi Oseng, Cah Sawi hingga minuman rempah tradisional.
”Kalau dulu ya almarhum sendiri yang masak, dia memang suka masak. Selain menu masakan Jawa lainnya, sejak dulu, ada jajanan favorit yang sering dipesan orang-orang disini. Ada jemblem dan singkong goreng. Itu tetep laris sampe sekarang,” tuturnya.
Singkong goreng dan Jemblem itu seolah membuka lorong waktu ingatan wanita bertubuh kurus namun tetap energik itu. Dulu, kisah dia, di warung kecil dan sederhana itu tiap harinya dikunjungi pelanggan setianya untuk sekedar makan siang, menikmati sejumlah kudapan dengan secangkir kopi.
‘Kami semua dulu sibuk, bolak-balik dari dapur ke toko antar pesanan. Capek sekali, tapi yang terasa hanya senang saja, gak kerasa. Dulu disini serasa hidup,” ujarnya.
Dari resep masa lalu itulah Toko Riang bisa tetap hidup dan ada sampai sekarang, meski bisa dibilang eksistensinya digerus habis modernisasi. Namun Endah tidak ingin berharap banyak. Sederhana saja, ia hanya ingin menjaga kepercayaan mendiang untuk melanjutkan kebanggaan masa lalu Toko Riang.
”Lagipula bangunan ini tidak boleh dijual karena jadi aset cagar budaya Kota Malang. Mau gak mau harus tetap hidup dengan cara apapun, sampai kapanpun,” ujarnya dengan mata menerawang, namun tetap dengan nada riang. Seriang namanya. (azm/gg)