MALANG, Tugujatim.id – Toxic positivity! Barangkali Anda sudah tidak asing dengan istilah toxic positivity ini. Istilah itu baru-baru ini cukup ramai dibicarakan oleh generasi milenial, baik secara langsung maupun melalui media sosial (medsos).
Toxic positivity adalah keyakinan bahwa tidak peduli seberapa parah atau sulitnya suatu kondisi, seseorang harus tetap memiliki pola pikir positif. Terdengar bagus, bukan? Kita semua tahu bahwa memiliki pandangan hidup positif baik untuk kesehatan mental Anda. Namun, yang menjadi masalah adalah hidup tidak selalu berjalan mulus. Kita semua pasti berurusan dengan emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Perasaan yang tidak menyenangkan itu justru penting dan perlu dirasakan secara terbuka dan jujur.
Toxic positivity tidak hanya menekankan pentingnya optimisme, tapi juga meminimalisasi jejak emosi manusia yang tidak sepenuhnya bahagia atau positif.
Dilansir dari verywellmind, ada beberapa toxic positivity yang mungkin Anda temui di kehidupan sehari-hari:
1. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, seperti kehilangan pekerjaan, kebanyakan orang meminta Anda untuk tetap positif dan melihat sisi baik dari hal buruk tersebut. Meski mungkin mereka bermaksud untuk menunjukkan simpati, tapi itu bisa menghentikan apa pun yang ingin Anda ceritakan tentang perasaan Anda.
2. Setelah merasakan “kehilangan”, banyak orang mengatakan “segala sesuatu terjadi karena suatu alasan”. Kalimat ini dipercaya akan menghibur, tapi ini juga merupakan cara untuk menghindari rasa sakit orang lain.
3. Ketika Anda mengungkapkan kekecewaan atau kesedihan, akan ada orang yang berkata “kebahagiaan adalah pilihan”. Ini menunjukkan bahwa jika Anda merasakan emosi negatif, maka itu adalah kesalahan Anda karena tidak “memilih” untuk bahagia.
Pernyataan yang mungkin bermaksud menghibur atau hanya sekadar basa-basi ini bisa menyakiti perasaan orang lain. Komentar ini dapat menyalahkan orang-orang yang sedang menghadapi situasi yang sulit.
Mengapa hal ini menyakitkan? Ketika seseorang mengalami masa-masa sulit, terkadang mereka hanya ingin didengarkan dan dipahami. Ketika Anda memberikan komentar yang mengandung toxic positivity, mereka akan merasa bahwa emosi yang dirasakan tidak dapat diterima dan salah. Mereka jadi merasa bersalah dan tidak mensyukuri hidup.
Di beberapa kondisi, masih memungkinkan jika Anda meminta mereka untuk bersikap optimistis dalam menghadapi pengalaman ataupun tantangan yang sulit. Tapi, orang-orang yang memiliki trauma tidak perlu diberitahu untuk tetap positif agar mereka tetap bisa bersinar di jalannya sendiri.
Lalu, bagaimana caranya sih meminimalisasi toxic positivity itu?
1. Kendalikan Emosi Negatif Anda, Jangan Menyangkalnya
Emosi negatif bisa membuat Anda stres jika tidak dikendalikan, tapi itu juga bisa memberikan beberapa hal baru dalam hidup Anda yang membawa perubahaan yang bermanfaat dalam hidup Anda.
2. Bersikap Realistis pada Perasaan Anda
Ketika menghadapi masa-masa sulit, wajar jika Anda merasa stres, khawatir, dan takut. Jangan terlalu berharap pada diri sendiri. Fokuslah pada diri Anda sendiri dan ambillah langkah-langkah yang dapat memperbaiki situasi Anda.
3. Tidak Apa-Apa jika Anda Merasakan Banyak Hal dalam Satu Waktu.
Jika Anda menghadapi suatu kesulitan, Anda mungkin merasa gugup tentang masa depan dan berharap semuanya akan berhasil. Emosi Anda memang akan sangat rumit.
4. Dengarkan Orang Lain dan Tunjukkan Dukungan Anda
Ketika seseorang menghadapi kesulitan, jangan katakan kata-kata yang “beracun”. Sebaliknya, beritahu mereka bahwa apa yang mereka rasakan adalah normal dan Anda siap mendengarkan keluh kesahnya.
5. Pahami Perasaan Anda
Mengikuti akun media sosial yang “positif” terkadang bisa menjadi sumber inspirasi. Namun, Anda juga harus memperhatikan bagaimana perasaan Anda setelah melihat konten-konten tersebut. Jika diperlukan, pertimbangkan untuk membatasi penggunaan media sosial Anda.
Itu tadi penjelasan mengenai toxic positivity. Jadi, apakah Anda siap untuk hidup bahagia tanpa toxic positivity?