Tugujatim.id – Covid-19 menjadi sebuah virus yang hari ini mengancam tidak hanya kesehatan fisik, namun juga mental seseorang. Selain tekanan dari dalam diri sendiri, juga dari luar tak kalah penting untuk diperhatikan.
Mungkin itulah yang dialami berinisial G (28) seorang warga Nganjuk yang bekerja di Kabupaten Tuban. Harus menghadapi isolasi mandiri (isoman) jauh dari keluarga dan hanya mengandalkan rekan kerjanya saja.
Saya berjumpa dengannya setelah melewati isoman kurang lebih 15 hari dan mendapatkan kontak Whatsappnya dari seorang teman yang kebetulan merawatnya.
Setelah melakukan obrolan panjang via handphone, kami memutuskan untuk berjumpa di sebuah warung kopi tengah sawah, di daerah pinggiran kota lebih tepatnya di sebuah Desa ikut Kecamtan Semanding, Kabupaten Tuban. Pertemuan itu, Kira-kira Minggu tanggal 11 Juni 2021.
Kami berjumpa sambil menempelkan lengan tangan. Biasa semenjak pandemi datang berjabat menjadi hal yang tabu. Usai mencari tempat yang cocok untuk berbincang-bincang. Tanya kabar dan lain sebagainya. Kemudian ku sodorkan pertanyaan yang mungkin langsung menohok pada dirinya.
“Apa yang kamu rasakan selama isoman yang jauh dari keluarga Mas?” tanyaku.
Pria yang murah senyum ini menjawab dengan santai, dan menceritakan kisahnya selama Isoman. Di awal merasakan tekanan yang luar biasa. Sebab di Tuban hanya mengenal 4 orang saja, ditambah kepanikan keluarga menjadi beban tersendiri. Lima hari pertama masih merasakan shock terpapar Covid-19. Setelah itu, beradaptasi dengan keadaan dan berangsur membaik.
Ia menceritakan, setelah merasakan adanya gejala ia melakukan tes di salah satu klinik dan hasilnya positif. Setelah tahu hasilnya positif Covid-19, dia meminta seorang teman untuk berkoordinasi dengan pihak puskesmas di sini dan mendapatkan arahan untuk isoman di rumah saja. Sebab kondisi masih memungkinkan untuk isoman di rumah tak perlu ke rumah sakit dulu.
Namun, ia menyayangkan sekali arahan yang diberikan tak sesuai dengan pemantauan dan perhatian yang diberikan. Petugas puskesmas hanya datang sekali saja pas hari kedua isomannya. Mereka datang dan menanyakan beberapa pertanyaaan saja. Setelah itu tak dipantau lagi.
“Entah emang saya kurang parah atau menunggu parah, tapi miris juga jika pemantauannya sebatas itu saja,” jawabnya.
Tak lupa ia menambahkan, tekanan dalam dirinya tak mendapatkan edukasi terkaid virus ini dan tak mendapatkan sentuhan motivasi. Beruntung saja keluarga dan teman-teman yang bergantian mengirim kebutuhan saya selalu memperhatikan dengan memberikan sugesti positif dan motivasi.
“Terus setelah melewati isoman apa kamu berkomunikasi lagi dengan pihak kesehatan setempat dan mendapatakan saran bagaimana?” tanyaku lebih jauh.
Sempat ia berfikir untuk tidak melaporkan kondisinya yang telah melewati isoman. Namun teman-temannya menyarankan untuk melaporkan ke pihak kesehatan setempat. Namun lagi-lagi kenyataan pahit ia harus terima tidak mendapatkan respon apapun atau arahan.
“Iya sebatas tes swab dan sudah mas, lalu aktivitas seperti biasa pulang ke kampung halaman.”katanya lagi.
Diakhir ia berpesan, untuk yang tengah isoman untuk selalu memotivasi dirinya sendiri sebab itu menjadi bagian penting dalam proses penyembuhan karena virus ini. Dan untuk para keluarga yang anggota keluarga tengah mengalami isoman untuk tidak acuh sebab peran keluarga dan menghadapi masa-masa sulit seperti ini sangat penting.
“Orang yang isoman atau terkena covid-19 itu bukan aib, jadi harus kita suport. Siapapun itu. Jangan sampai kita mematikan rasa kemanusiaan hanya karena kita takut,” pesan dia.