Tugujatim.id – Habib Sholeh Tanggul merupakan salah satu ulama waliyullah yang tersohor di Indonesia. Habib Sholeh Tanggul menghabiskan masa hidupnya dengan berdakwah dan menyebarkan agama Islam di Kecamatan Tanggul, Jember, Jawa Timur.
Habib Sholeh Tanggul merupakan keturunan Rasulullah Muhammad SAW generasi ke-39. Ulama ini berasal dari Hadramaut, Yaman, yang kemudian hijrah ke Jawa sekitar 1921.
Habib Sholeh Tanggul dipercaya memiliki derajad kewalian tinggi hingga mendapat gelar sebagai Wali Qutub. Wali Qutub atau Wali Qutbh sendiri merupakan tingkatan paling tinggi di antara waliyullah yang lain.
Dalam buku Lentera Para Wali karangan Chandra Utama, Wali Qutub adalah pemimpin dari para wali di seluruh dunia. Setiap masanya, diyakini hanya ada satu orang Wali Qutub yang hidup di dunia.
Kelahiran dan Masa Kecil
Dilansir dari laman Laduni.id, Habib Sholeh Tanggul lahir di Desa Qorbah Ba Karman, Hadramaut, Yaman pada tanggal 17 Jumadul Ula tahun 1313 H atau sekitar 1895 M.
Habib Sholeh Tanggul memiliki nama asli Sholeh bin Muhsin Al Hamid. Ayahnya, Muhsin bin Ahmad al-Hamid juga merupakan ulama di Hadramaut yang mendapat julukan sebagai al-Bakri al-Hamid. Adapun ibunya, Aisyah, berasal dari keturunan keluarga al-‘Abud Ba ‘Umar. Silsilah dan nasab Habib Sholeh Tanggul merupakan keturunan ke-39 dari Rasulullah Muhammad SAW. Ia merupakan anak cucu dari garis keturunan Iman Husein bin Ali bin Abi Thalib, sehingga termasuk sebagai golongan Sayyid.
Masa kecil Habib Sholeh Tanggul dihabiskan untuk menghabiskan banyak belajar ilmu agama Islam.
Ilmu Fiqih dan Tasawuf didapatkan langsung dari sang ayah.
Habib Sholeh Tanggul juga mempelajari Al-Qur’an dari Syekh Said Ba Mudhij, salah satu ulama tersohor di Wadi ‘Amd, Yaman.
Hijrah ke Tanah Jawa
Habib Sholeh Tanggul memutuskan berhijrah ke Indonesia pada sekitar 1921 M. Kala itu, ia menginjak usia yang ke-26 tahun. Ia pergi ke Indonesia bersama Asy- Syekh Al-Fadil Assoleh Salim bin Ahmad Al-Asykary.
Mulanya, Habib Sholeh Tanggul singgah di Jakarta untuk menemui beberapa ulama. Setelahnya, Habib Sholeh Tanggul diajak sepupunya, Habib Muhsin bin Abdullah Al-Hamid, untuk tinggal di Lumajang.
Selama di sana, ia mulai mempelajari bahasa Jawa dan adat budaya masyarakat sekitar. Di Lumajang, Habib Sholeh Tanggul menikah dengan Khamsyi’ah.
Dari pernikahannya dengan wanita asal Tempeh, Lumajang itu, ia dikaruniai tiga anak, yani Habib Abdullah (Alm), Habib Ali (Alm), dan Syarifah Nur (Alm).
Selama 12 tahun, Habib Sholeh Tanggul berkelana dari desa ke desa untuk berdakwah. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tinggal menetap di Kecamatan Tanggul, Jember.
Di Jember, Habib Sholeh Tanggul kembali menikahi wanita warga sekitar bernama Siha. Dari pernikahan keduanya ini, ia dikaruniai seorang anak perempuan bernama Syarifah Fatimah.
Habib Sholeh Tanggul juga pernah menikahi seorang perempuan lain warga Tanggul yang tidak diketahui pasti namanya, namun tidak dikaruniai anak.
Pernikahan terakhirnya, Habib Sholeh Tanggul menyunting perempuan asal Banyuwangi keturunan Arab bermarga Al Habsyi, bernama Syarifah Fatimah binti Musthofa Al Habsyi.
Dari pernikahan keempatnya ini, ia memiliki tiga anak, yakni Habib Husain (Alm), Habib Ali (Alm), dan Syarifah Khodijah.
Jadi Wali Qutub di Jember
Habib Sholeh Tanggul memulai dakwahnya di Jember dari sebuah musala kecil yang dibangun di rumahnya.
Dakwahnya dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk salat berjemaah dan membaca Al-Qur’an. Pengajian membahas tuntutan syariat agama Islam juga selalu digelar rutin di musala kecil tersebut.
Ia juga selalu mengajarkan kitab An-Nashaihud Dinniyah karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang dibacakan dalam bahasa Madura sebagai bahasa sehari-hari warga sekitar.
Berselang beberapa tahun, barulah Habib Sholeh Tanggul bisa membangun masjid yang dinamakan Riyadus Sholihin. Masjid tersebut dibangun setelah ia mendapat hadiah sebidang tanah dari H Abdur Rasyid, salah satu warga yang jadi Muhibbin atau orang yang mencintai anak cucu keturunan Rasulullah.
Selama hidup di Jember, Habib Sholeh Tanggul terkenal sebagai sosok ulama yang senang menolong.
Dengan berbagai karomahnya sebagai Wali Qutub, ia selalu membantu masyarakat agar keluar dari kesulitan hidupnya.
Ia juga aktif menjadi penggerak sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, Habib Sholeh Tanggul menjadi penasihat sekaligus peletak batu pertama pembangunan Rumah Sakit Islam Surabaya.
Dalam perjalanan hidupnya di Jember, Habib Sholeh Tanggul pernah melakukan uzlah dan khalwat atau mengasingkan diri. Selama kurang lebih tiga tahun, ia tidak pernah ditemui atapun menemui siapapun.
Di tengah masa pengasingannya, Habib Sholeh Tanggul tiba-tiba didatangi oleh guru besarnya yang juga dipercaya punya karomah, yaknk Al-Imam Al-Qutub Habib Abu Bakar bin Muhammad As-Segaf. Ia diajak keluar sang guru ke kediamannya di Gresik. Di sana, Habib Sholeh Tanggul diminta untuk mandi di kolam khusus milik sang guru.
Setelahnya, sang guru memakaikan jubah imamah dan sorban hijau sekaligus memberi mandat dan ijazah sebagai Wali Qutub.
“Ya Habib Sholeh, Rasulullah SAW datang kepadaku dan mengutusku menyerahkan sorban hijau ini. Ini pertanda kewalian quthb atasku jatuh ke pundakmu,” ujar Habib Abu Bakar bin Muhammad As-Segaf dilansir dari laman Laduni.id.
Pada mulanya, Habib Sholeh Tanggul justru merasa sedih karena menganggap dirinya belum pantas mengemban amanah yang begitu besar. Bahkan, ia kembali mengasingkan diri selama tujuh tahun.
Diceritakan bahwa Habib Sholeh Tanggul tidak pernah keluar kamarnya dan terus menangis sambil berdoa memohon petunjuk kepada Allah SWT. Banyak para habaib, sahabat, bahkan orang-orang kaya yang ingin menemuinya sekaligus merenovasi rumahnya yang masih terbuat dari bambu. Namun, ia selalu menolak tawaran tersebut karena khawatir Rasulullah SAW tidak mau datang kembali ke rumahnya.
“Jangan dibetulkan!, jangan dibongkar!, biarkan saja. Saya takut Rasulullah SAW tidak datang lagi ke sini. Saya setiap hari jemaah salat lima waktu dengan Rasulullah SAW di rumah ini,” ucap Habib Sholeh Tanggul.
Habib Sholeh Tanggul keluar dari pengasingannya setelah menerima isyarat dari Rasulullah SAW agar menziarahi makamnya di Madinah.
Di saat ia pergi ke Mekkah dan Madinah, barulah rumahnya direnovasi oleh Habib Muhammad bin Husein al-Hamid asal Pasar Minggu.
Sepulang dari baitullah, Habib Sholeh Tanggul tidak marah melihat rumahnya direnovasi karena ia mengaku sudah diberikan izin oleh Rasulullah agar rumahnya dibangun kembali.
Wafat Setelah Berwudu Saat Salat Magrib
Habib Sholeh Tanggul wafat pada Sabtu, 8 Syawal 1396 H atau 2 Oktober 1976 M. Ia wafat dalam usianya yang ke-81 tahun. Ia wafat setelah usai berwudu namun belum sempat melakukan salat magrib.
Jenazah Habib Sholeh Tanggul disemayamkan di makam samping Masjid Riyadus Sholihin pada Minggu, 9 Syawal 1396 H atau 3 Oktober 1976 M.
Habib Sholeh Tanggul meninggalkan banyak karya sastra berupa syair-syair cinta dan pujian kepada Allah dan Rasulullah SAW. Syair-syair tersebut dirangkai dalam bahasa Arab dengan kesusastraan tingkat tinggi. Syair tersebut diciptakan dengan gaya bahasa Assyi’rul Humaini atau semacam puisi rakyat khas Yaman.
Sepeninggal Habib Sholeh Tanggul, syair-syair tersebut ditulis ulang salah satu muridnya yang bernama Uztad Abdullah Zahir. Kumpulan syair- syair Habib Sholeh Tanggul diabadikan dalam buku “Diwan Al-Isyqi Was- Shofa Fi mahabbati Al- Habib Al- Musthofa” atau Antologi Asmara Nan Suci Tentang Cinta Nabi Terkasih Al- Musthofa yang berisi 105 macam qasidah.