PASURUAN, Tugujatim.id – Setelah dua pekan lebih, kebakaran Gunung Arjuno telah sepenuhnya padam sejak Rabu (13/9/2023). Berdasarkan data terakhir, kebakaran Arjuno dan kawasan hutan dan lahan di Tahura R Soerjo ini sudah mencapai 4.796 hektare.
Padamnya kebakaran hutan di wilayah salah satu gunung tertinggi di Jawa ini tidak terlepas dari jasa para relawan. Salah satunya Wujud Lestari, anggota relawan Masyarakat Peduli Api (MPA) asal Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Wujud berjibaku memadamkan api di wilayah Kecamatan Purwodadi selama sepekan lebih. Dengan hanya berbekal cangkul, arit, dan kayu, dia dan ratusan relawan lain tak gentar melawan api. Bahkan dia dan rekannya pernah berhadapan dengan api setinggi hampir 20 meter. “Itu kalau saya bilang babonnya api (induknya api), besar sekali, sampai padang jinglang (terang benderang) padahal jam dua malam,” ujarnya.

Menurut Wujud, kobaran api setinggi itu tidak bisa dia lawan langsung. Dia dan para relawan lain harus mundur sekitar 5 kilometer lebih jauhnya lalu membuat sekat bakar. Mereka memotongi semak belukar dan kayu-kayu ranting hingga habis, lalu mencangkul tanah untuk membuat parit. “Kalau kita lawan langsung ya resikonya nyawa kita, mau tidak mau ya dihalau pakai sekat bakar,” jelasnya.
Selain demi menyelamatkan lahan pertanian warga, para relawan juga menghalau kebakaran agar tidak merusak komplek situs purbakala di jalur pendakian Arjuno via Purwosari. Situs-situs kuno ini berada di ketinggian 2.425 MDPL, tepatnya di Dusun Tambakwatu, Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan.
Di sana terdapat empat situs candi di antaranya Candi Sepilar, Candi Lesung, Candi Semar, dan Candi Makutoromo. Kemudian adapula situs berbentuk anak tangga dengan 21 arca Dwarapala di sampingnya, Goa Oentobogo, hingga Sendang Kunti.

Wujud menyebut ketika api sudah terlihat dari jarak 10 kilometer, warga sudah sibuk membuat sekat api.
Tidak kurang dari 120 orang warga dan relawan bahu membahu membuat sekat api selama hampir sepekan. “Sejak awal kita naik, terus diwanti-wanti bagaimana situs itu aman. Sekatnya kita buat mengitari situs dengan jaraknya radius 5 kilometer,” jelasnya.
Banyak hal yang dikorbankan para relawan pemadam kebakaran Arjuno. Mulai dari resiko kesehatan seperti luka bakar ataupun gangguan pernafasan akibat asap api. Juga resiko hilangnya nyawa hingga meninggalkan keluarga di tengah kebakaran besar. “Saya cintanya Gunung Arjuno ini seperti cinta ke istri. Sejak awal saya bilang ke istri kalau saya pergi, tidak tau bisa kembali atau tidak,” ucapnya.
Tidak cukup di situ, para relawan juga mau tak mau bisa tidur di mana saja karena kelelahan. Mereka terpaksa beralaskan tanah dan beratapkan langit. “Tidurnya kita pilih spot aman dari api. Meskipun begitu, ndilalah (ternyata) para relawan ini dibuat seperti ngantuknya gantian, kalau ada yang tidur lainnya gantian berdiri,” imbuhnya.

Di sisi lain, pria yang juga petani ini mengambil hikmah dari adanya kebakaran Arjuno. Dia merasa bahwa kebakaran tahun ini telah memantik rasa kesatuan dalam wujud empati yang sama dari Indonesia. 500 relawan dari berbagai daerah di seluruh Indonesia berbondong-bondong mendaftar.
“Ada dari Jogja, dari Bandung, (dari) Jawa Timur. Paling jauh itu dari Medan, Sumatra. Tahun ini kerasa banget bhinneka tunggal ika-nya,” jelasnya.
Wujud juga punya pengalaman tragis yang tak kan ia lupakan terkait perjumpaannya dengan satwa hingga pemburu liar di Arjuno.
Bapak dua anak ini pernah menemukan indukan celeng atau babi hutan yang lemas. Hewan itu hendak melahirkan namun terjebak di tengah kepungan api kebakaran Arjuno. Karena tak mungkin dievakuasi, dia dan rekannya terpaksa menyembelih celeng tersebut. “Saya terpaksa potong kepala celeng yang sedang mengandung. Saya nggak mau hewan itu kesakitan terkena api Arjuno,” ucapnya.
Adapun perjumpaannya dengan para pemburu liar ini sudah berulangkali terjadi. Dia menyebut bahwa masih banyak pemburu liar yang memburu burung-burung liar nan eksotik.
Para pemburu liar ini pernah terpergok warga, nyaris babak belur dipukuli, bahkan sepeda motornya dibuang ke jurang. “Itu kejadiannya tahun 2020 lalu. Warga sini pasti tolak keras para pemburu liar. Kita berharap Tahura bisa menambah petugas polhut juga ada regulasi atau aturan yang jelas soal perburuan,” pungkasnya.
Reporter: Laoh Mahfud
Editor: Lizya Kristanti