Mencari Corona Lewat Puisi Marhalim Zaini

Oleh: Fajrus Shiddiq

Tak sedikit orang Riau, saya kira, kenal Marhalim. Karena aktifitas penulis buku puisi Gazal Hamzah ini, kemana-kemana. Selain menulis, dia juga memberi workshop kemana-mana. Saya lihat di laman medsosnya, Marhalim bertemu banyak orang, yang ingin belajar menulis. Maka boleh lah Marhalim dikenal sebagai penulis.

Suku Seni yang dibangun Marhalim, tentu mengenalkan dirinya sebagai salah satu tokoh teater juga. Dalam waktu singkat, saya lihat, Marhalim sudah bisa mengumpulkan puluhan anggota. Soal penghargaan sastra, memang Marhalim tak kurang-kurang. Sudah banyak dia terima penghargaan bergengsi.

Nah, saat pandemi virus corona ini menyebar di tanah air, aktifitas perekenomian, sosial, akademik, bahkan aktifitas pertanian, seolah berhenti. Ada yang langsung stop, ada yang mencoba menghentikannya pelan-pelan. Semua orang seakan-seakan menghindar dari penyebaran corona. Apalagi pemerintah sudah kampanye agar masyarakat diam di rumah saja. Berkegiatan di luar rumah oleh Marhalim, saya lihat juga mandeg karena pandemi ini.

Alih-alih sembunyi, Marhalim saya kira, malah mencari siapa itu corona. Ini bisa di lihat dalam unggahan video di youtube, pembacaan puisi Marhalim yang judulnya Siapakah Engkau, Corona. Apakah dalam pencariannya, Marhalim berhasil menemukan siapa sebenarnya virus corona?. Mari simak puisi tersebut, apakah corona benar-benar ditemukan.

Sejak engkau datang, kami mengurung diri

dalam rumah. Mengunci pintu dan jendela, menutup

Lubang angin, menutup segala yang terbuka dari

rasa

takut. Padahal kami tidak tahu, engkau ada di luar

Atau di dalam tubuh kami.

 

Siapakah engkau, Corona?

Engkau mengusir kami dari Jalan-jalan, mal, pasar,

kantor-kantor, sekolah, kampus-kampus, bahkan

dari rumah ibadah kami. Padahal kami selalu tak

mampu

untuk keluar dari keramaian dalam kepala kami.

 

Siapakah engkau, Corona.

Engkau datang seperti bala tentara dalam

operasi senyap. Menembaki ribuan orang

di seluruh dunia dengan peluru kecemasan,

padahal kami hanya orang biasa yang tak

Punya senjata, yang selalu percaya bahwa

perang hanya untuk para tentara.

 

Siapakah engkau, Corona?

Hari ini, kami memang akhirnya mengunci diri

Dalam rumah, tapi kami tidak sedang menyerah.

Peluru-peluru sedang kami siapkan dari doa-doa

yang setiap saat kami rapalkan. Kami punya iman

yang setiap waktu menyala dalam kegelapan.

 

Tapi siapakah engkau, Corona.

Apakah engkau hanya datang sebagai pengecut,

yang

menyerang saat kami buta. Saat kami kerap lalai

menyalakan api iman dalam dada. Saat kami terlalu

bahagia dengan gemerlap dunia, dan lupa pada dosa-dosa.

 

Corona, siapapun engkau, kami tak lagi peduli.

Karena hari ini, kami sedang berdiam dalam diri,

mencari tahu, siapakah kami sesungguhnya

dalam tubuh yang fana.

 

2020

Di bait pertama, Marhalim sepertinya sadar corona telah datang -kalau ditelaah lewat kode bahasa yang diajarkan A. Teeuw-. Maka segala upaya dilakukannya dengan menutup semua akses masuk, termasuk /menutup segala yang terbuka dari rasa takut/. Meski juga dia tak tahu apakah corona sudah lebih dulu menguasai tubuhnya. Dari sini saya kok malah yakin, Marhalim tahu siapa corona. Dia tahu corona begitu beringas, tanpa ampun menyerang, hingga pertahanan paling dalam.

Kata Tengsoe Tjahjono, setiap bait puisi mengadung satu pokok pikiran. Maka di bait pertama itu, Marhalim sudah tahu siapa corona yang sangat berbahaya itu. Corona adalah makhluk kecil yang bisa menerobos ke lubang paling kecil, yang sudah ditutup rapat sekalipun. Marhalim pun mempersonifikasi corona /seperti bala tentara dalam operasi senyap/ -di bait ketiga-.

Lalu siapa yang bisa melawan bala tentara bersenjata itu? Di bait ke empat, Marhalim menyebut senjata dilawan dengan senjata. Yaitu peluru dari doa sebagai senjatanya. Yang bisa mengubah gelap jadi terang. Sehingga apa yang tak terlihat -sekecil apapun bentuk corona- tetap bisa dilawan. Doa sebagai senajata juga dijelaskan oleh agama, ini tentu bukan hiperbola, apalagi litotes.

Secara retoris, Marhalim terus menegaskan di setiap baitnya, bahwa langkah-langkah menghadapi corona sudah dilakukan. Meski corona hanya –meminjam istilah jawa- wani silit. Itu jelas, seperti Marhalim menyebut corona /hanya datang sebagai pengecut/. Tapi apa corona memang wani silit wedi rai? Mungkin iya, bagi kita yang /kerap lalai menyalakan api iman dalam dada/.

Saat manusia silau dengan gemerlap dunia,  dan lupa dosa-dosa, saat itulah kata Marhalim, corona datang menyerang. Yang apakah artinya, manusia yang selalu menyalakan iman dalam dada, luput dari serangan corona? Saya kira, kena serangan atau tidak, orang beriman akan mati dalam damai.

Saya pun sepakat jika Marhalim sudah tidak peduli, corona itu siapa. Di bait terakhir, saya kira bisa disebut total of meaning dari keutuhan puisi ini. Yang berpesan agar manusia /berdiam dalam diri/ -atau tawakal; setelah pada bait-bait sebelumnya, segala usaha sudah diupayakan-. Dan jangan lupa untuk bercermin, mencari tahu, siapa diri kita sebenarnya. Seperti kata Socrates “Hidup yang tidak dikaji, adalah hidup yang tidak layak untuk dihuni”.

 

*Alumni Al-Amien Prenduan

Badan Pengurus Harian Dewan Kesenian Malang