TRENGGALEK, Tugujatim.id – Tantangan berat para pekerja seni di tengah pandemi Covid-19 memang tak bisa dipungkiri. Mulai adanya larangan berkerumun, pentas kesenian jaranan sirna di mata pekerja seni dan penopang alat-alat kesenian jaranan. Hal itulah yang dialami oleh Yayang Novrianto, salah satu pekerja seni pembuat barongan asal Desa Sukorejo, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek yang kini harus bersabar dan bergelut dengan keadaan.
Meski demikian, perajin kesenian jaranan dan barongan ini tak pernah menyerah. Bahkan, pria kelahiran 1989 ini juga memiliki kekurangan pada bagian salah satu indranya lantaran memiliki gangguan pendengaran akibat terjatuh waktu masa-masa sekolah beberapa tahun silam. Berbagai pengobatan telah ditempuh bersama keluarganya namun kesembuhan belum ditemukan pria yang memiliki julukan Gumbreg ini.
“Saya agak tidak kedengaran mas, akibat kecil pernah jatuh dan efeknya 5 tahun ini terasa sekali, rasanya berdengung, ini saya menggunakan alat bantu pendengaran agak sedikit terbantu dengan alat ini” kata Yayang kepada awak media.
Keterbatasan yang dialaminya bukan sebuah halangan untul bangkit menafkahi keluarganya, anak satu umur satu tahun adalah tanggung jawabnya sehari-hari, memiliki keturunan para seniman jaranan di situlah darah seniman menurun terhadap Yayang, mulai dari ikut pentas sampai saat ini menjadi profesi membuat barongan agar menghasilkan setitik nilai ekonomi untuk keluarga.
“Kalau dari keturunan sudab ada darah seniman, dan juga tertanam nilai hobi, di situlah saya beranikan diri untuk membuat kerajinan barongan untuk dijual. Untuk pembuatan sendiri kisaran 10 hari untuk ukuran sedang,” terangnya.
Hasil buah tangannya sudah tersebar ke mana-mana. Mulai dari Pulau Sumatra dan Kalimantan sudah pernah dijajaki barongan hasil karya Yayang. Bahkan, ia sempat kebanjiran pesanan di mana dalam satu bulan ia mampu memproduksi 10 barongan dengan bandrol harga Rp 1,5 juta untuk barongan kategori sedang.
“Sebelum pandemi, satu bulan sampai 10 barongan, satunya sekitar Rp 1,5 juta. Namun setelah pandemi, 2 tahun ini, satu bulan laku 2 barongan saja sudah lumayan untuk menyambung hidup. Bahkan tidak ada sama sekali pesanan dalam satu bulan juga saya rasakan,” ungkapnya.
Bahan baku utama yang ia pakai adalah kayu waru yang dibeli dari perusahaan “somel” (tempat penampungan kayu, red) yang ada di seputaran Gandusari, yang membedakan dari kerajinan barongan Yayang adalah dari cat dan ukirannya yang lebih menegedepankan kerapian.
“Bahannya dari kayu waru, kalau kuncinya dalam dunia seni ya harus tulus hatinya,” jelas mantan pemain Jaranan Krido Budoyo tersebut.
Pembeda barongan dalam seni jaranan yaitu dari bentuknya dan asal daerah, kalau untuk daerah Kabupaten Trenggalek sendiri lebih identik dengan barongan biasa, tidak begitu rumit. Pembuatan barongam sendiri yang paling lama proses pengukiran “Jamang” (Dadakan, red).
Nilai-nilai mistis yang ada di dalam barongan bisa dilihat dari letak ukirannya dan jamangnya, untuk barongan sendiri ternyata juga bisa membuat manusia dirasuki setan ketika ada pementasan,
“Barongan itu sebenarnya ada nilai-nilai mistisnya, jika barongan tersebut dimasuki dengan pulung, kalau bahasa mudahnya setan,” tandasnya.