Mengenang Hamid Rusdi, Otak di Balik Aksi Gerilya Kota Malang Paling Ditakuti Kompeni

Patung Mayor Hamid Rusdi di Simpang Balapan, Ijen Boulevard Kota Malang. (Foto: Ulul Azmy)

MALANG – Nama Hamid Rusdi bukan nama yang asing bagi warga Kota Malang. Ya, dia adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia asli Arek Malang. Sosoknya sendiri sangat tersohor selaku pemegang tongkat komando perjuangan Arek-Arek Malang di masa penjajahan Belanda saat itu.

Hamid Rusid merupakan pejuang tiga zaman sejak masa pra kemerdekaan zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang hingga mempertahankan kemerdekaan. Hingga akhir hayatnya pun beliau gugur di medan juang. Hamid Rusdi gugur ditembak Belanda di Wonokoyo pada Maret 1949.

Baca Juga: Fans Kpop Harus Bangga, Sebab Paham Budaya Korea Punya Banyak Manfaat

Kendati begitu, Mayor Hamid merupakan pemimpin paling disegani. Dialah yang memimpin pasukan Gerilya Rakyat Kota (GRK) paling ditakuti tentara belanda alias kompeni. Segarang apakah pasukan gerilya pimpinan Hamid Rusdi ini dalam melawan penjajah kumpeni?

Berikut penuturan Eko Irawan, Pemerhati Sejarah dari Museum Reenactor Ngalam yang ia himpun dari berbagai sumber. GRK sendiri merupakan cikal bakal pasukan bawah tanah yang terbentuk saat kondisi genting akibat Agresi Militer Belanda I (Clash I).

<img src="hamid rusdi.jpg" alt="Pahlawan kemerdekaan asal Malang, Hamid Rusdi.">
Foto Profil Hamid Rusdi (Dok. Reenactor Ngalam)

”Saat itu kondisi semakin kacau dibarengi dengan meletusnya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948 untuk menggulingkan kekuasaan,” ungkapnya, Minggu (17/8/2020).

Pemberontakan PKI semakin melemahkan kondisi RI. Hal itu yang menyebabkan Dr. Beel sebagai Wakil Tinggi Mahkota berpidato pada tanggal 18 Desember 1948, menganggap RI tidak mematuhi Perjanjian Renville. Maka Belanda dianggap tidak terikat lagi dengan perjanjian tersebut sehingga meletuslah Agresi Militer Belanda II (Clash II).

Baca Juga: Mengunjungi Ndalem Pojok, Kediaman Kedua Sukarno di Kediri

Clash II mulai meletus keesokan harinya dimulai dengan penyerbuan menguasai ibu kota Yogyakarta. Sedangkan di Malang, pasukan disiagakan pada pertahanan Kota Malang, Bangil, Pasuruan, Turen, dan Lumajang.

Sementara itu, kekuatan pasukan Hamid Rusdi di Turen mulai melemah. Persenjataan mereka tidak lengkap. ”Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan cara bergerilya. Penyerangan oleh gerilyawan dilakukan malam hari dengan pasukan infantri. Pasukan gerilya selalu mobile,” terangnya.

Di sinilah keistimewaan para prajurit pimpinan Mayor Hamid Rusdi dalam menerapkan siasat gerilya. Mereka bisa saja melaksanakan perintah yang datang sewaktu-waktu dengan garang, meski dari segi persenjataan kurang memadai.

Ada dua cara cerdas dan ampuh yang diterapkan oleh Mayor Hamid Roesdi dan pasukannnya dalam bergerilya. Pertama, kata Eko adalah sistem estafet. Cara ini dipakai untuk mengantar surat perintah pelaksanaan dari pos satu ke pos lainnya. Agar sampai pada tujuan, surat berpindah dari tangan ke tangan sehingga Belanda kesulitan melacaknya.

Kedua, lanjut Eko adalah sistem surat pantat. Sistem ini dipakai bila isi surat sangat penting dengan cara dimasukkan ke dalam pantat seorang wanita agar luput dari penggeledahan. Pengantarnya adalah wanita yang menyamar sebagai mlijo (pedagang) yang hendak kulakan ke pasar.

Baca Juga: Prekuel Game of Thrones Akan Rilis Tahun 2022, Fokus ke Cerita Keluarga Targaryen

”Pada masa itu wanita lebih leluasa dan bebas untuk berkomunikasi dengan para gerilyawan,” paparnya.

Dalam menyerang, pasukan ini kerap mengambil berbagai langkah taktis, efisien dan sulit diprediksi musuh. Selain melancarkan gerilya di malam hari, pasukan Mayor Hamid Roesdi juga mengadakan serangan-serangan umum yang mengejutkan pasukan Belanda.

Penghadangan juga dilakukan terhadap konvoi iring-iringan pasukan Belanda secara mendadak bahkan membunuh orang-orang Belanda yang kebetulan ada di pasar atau yang sedang berpatroli.

Bahkan jembatan-jembatan penghubung juga menjadi sasaran penghancuran guna memutus akses dan memberikan teror terhadap musuh. Seperti halnya jembatan Kedungkandang-Buring.

”Hancurnya jembatan akan menghambat arus pergerakan Belanda. Sayangnya jembatan Kendal Payak tidak bisa ambrol meski dibom tiga kali dengan bom basil rakitan,” kisahnya.

Tak bisa dipungkiri, pola gerilya, gaya menyerang yang dilakukan Mayor Hamid Roesdi dan pasukan berhasil efektif. Ada beberapa kelebihan pola gerilya ini mulai sukar dicari oleh musuh, pos pemusatan tenaga bersifat defensif dan agresif.

Selain itu, aksi gerilya ini juga efektif dalam mempengaruhi pandangan rakyat agar lebih siaga menghadapi musuh. Persentuhan langsung dengan rakyat dapat memperkaya pengalaman hidup gerilyawan.

Baca Juga: Hobi Menyaksikan Video Binatang Lucu dan Imut Baik untuk Kesehatan, Studi Membuktikan

”Jelas terbukti bahwa keuletan pola gerilya dapat mendatangkan manfaat bagi banyak pihak. Cara ini juga diterapkan oleh pasukan batalyon lainnya sehingga daerah Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan mulai bisa dikuasai oleh gerilyawan,” katanya.

GRK sendiri bukanlah sebuah kelompok yang tetap, melainkan terdiri dari beberapa kesatuan mulai Kesatuan Mayor Hamid Rusdi, Kesatuan Mayor Abdul Manan, dan kesatuan dari Batalyon Samsul Islam Pasuruan. Ketiga kesatuan ini turut serta membantu aksi gerilya di Kota Malang. Aksi Gerilya Arek-Arek Malang ini semakin meluas dan tersohor hingga menjadi kekuatan permanen.

Atas jasa-jasanya, nama dan sosok Hamid Rusdi begitu dijunjung tinggi. Namanya diabadikan menjadi nama jalan di daerah Bunul, juga menjado nama Terminal di Wonokoyo. Sosok Hamid Rusdi juga diabadikan dalam patung yang berada di Simpang Balapan, Ijen Boulevard juga di Senaputra. (azm/gg)