SURABAYA, Tugujatim.id – Sebagian dari kita pasti tahu apa itu ‘Freemason’. Setidaknya, pernah mendengar. Freemason sendiri, apabila diartikan secara etimologi–pemenggalan kata, berasal dari Bahasa Inggris, yakni ‘free’ berarti ‘bebas’ dan ‘mason’ berarti ‘tukang batu’. Dimaknai secara harfiah sebagai ‘tukang batu yang bebas’ dalam berpikir.
Lebih jauh, Freemason merupakan organisasi yang begitu misterius dan penuh teka-teki. Manuvernya ada di bidang kemanusiaan, amal, pendidikan dan sosial, katakanlah seperti ‘Rotary Club’ untuk masa kontemporer. Beranggotakan elite-elite pribumi hingga Eropa yang berpengaruh di masanya. Tujuan dibentuknya Freemason, ingin menanamkan pemikiran sama dan persaudaraan seluruh dunia atas dasar kemanusiaan.
Menanggapi hal itu, Adrian Perkasa Ahli Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menegaskan bahwa Freemason sendiri berasal dari Inggris. Lambang yang dipakai yakni penggaris siku-siku dan jangka, menyimbolkan geometri yang begitu penting dalam pembangunan dan arsitektur. Dengan huruf ‘G’ yang berarti ‘God’, ‘Godness’, atau ‘Geometry’.
“Soal Freemason itu sendiri. Aslinya dari Inggris, masuk di Freemason itu ‘tukang kayu’ atau ‘tukang bangunan’. Makanya, lambangnya pakai penggaris atau mistar siku-siku sama jangka (dengan huruf ‘G’ di tengah simbolnya, red),” terangnya, Selasa (27/07/2021).
Apalagi soal catatan sejarah yang dimiliki, lanjut Adrian, loji Freemason yang sekarang menjadi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tunjungan itu merupakan lokasi bersejarah, bukan lagi level regional atau nasional, namun setingkat Hindia-Belanda periode abad 18-20 setelah loji di Batavia.
“Tapi, yang jelas kalau di Surabaya itu, loji yang ada di depan Hotel Majapahit bersejarah sekali. Sangat bersejarah. Karena salah satu loji pertama Hindia-Belanda, setelah Batavia pastinya kan (Loji La Fidele Sincerite, red),” bebernya.
Mengenai catatan sejarah Loji de Vriendschap sendiri, mulai digarap desain arsitektur dan pembangunan sejak masa Vereeningde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Hindia-Belanda tahun 1798-1799. Tatkala pelaut-pelaut Afrika Selatan, mendatangi nusantara untuk keperluan perdagangan.
“Jadi, yang jelas berdirinya tahun 1809. Tapi, proses pendirian sudah dimulai sejak tahun 1798. Di masa VOC. VOC bangkrut di tahun tahun 1799, kemudian diganti Hindia-Belanda,” tegasnya.
“Itu proses sudah dimulai sejak tahun 1798. Nah, di tahun 1798 itu, ada beberapa orang dari Afrika Selatan. Pelaut-pelaut itu ya (termasuk, red) Freemason, keliling daerah ‘company’ untuk menjadikan (memperluas jaringan, red) Freemason itu,” sambungnya.
Selain di Batavia, tegas Adrian, ada juga loji Semarang yang bernama La Constante et Fidele tahun 1802-1962. Kemudian yang paling antusias loji di Surabaya. Di Surabaya itu sempat dibentuk ‘company’ bangkrut, diganti Hindia-Belanda. Zaman Gubernur Jenderal Ke-36 tahun 1808-1811 yakni Meester in de Rechten Herman Willem Daendels, membangun banyak hal.
“Salah satunya, Surabaya dapat perhatian. Ketika Surabaya dibagi, dulu di bawah kepemimpinan Semarang, bersama Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa. Nah itu, kemudian Surabaya dijadikan residen sendiri (saat kepemimpinan Daendels, red),” ucapnya.
“Lalu barulah si loji itu berdiri. Salah satunya sama Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa ini. Ibarat dia sejajar Gubernur. Mulai Semarang (Ibukota Jawa Tengah, red) sampai Panarukan (daerah Situbondo Jawa Timur, red),” ujarnya.
Tatkala masa pemerintahan Daendels, Kota Surabaya dipakai untuk pusat militer saat itu. Sehingga, pejabat-pejabat militer berkumpul di Kota Pahlawan dan sebagian besar tokoh-tokoh penting tersebut bergabung di Freemason.
Terkait pembangunan Loji de Vriendschap, arsitek yang menggarap bernama Wardenaar pada tahun 1810. Sosok yang merancang desain Masjid Kemayoran Surabaya yang dapat kita kunjungi sekarang. Bangunan loji itu dipakai hingga pemerintahan Rafless tahun 1811-1816.
“Pembangunan itu sendiri masih loji sementara. Maksudnya, masih loji temporer. Karena Surabaya dijadikan Daendels pusat militer, banyak pejabat militer ditempatkan di Surabaya,” jelasnya.
“Tahun 1810, mulai didirikan. Arsiteknya itu seorang Indo, J.W.B. Wardenaar (1786-1869, red). Dia angkatan laut tapi Indo, bapaknya Belanda, ibunya Jawa. Wardenaar itu keluarga militer semua, tapi dia ahli gambar,” paparnya.
“Jadi, dia juga yang bikin arsitektur Masjid Kemayoran sekarang ini Wardenaar. Lalu yang (bangunan, red) Kapolrestabes Surabaya itu juga arsiteknya dia. Dulu masih dipakai juga di zamannya Thomas Stamford Rafless (Gubernur-Letnan Hindia Belanda Ke-39 1811-1816, red),” terangnya.
Jawa dijaminkan Belanda ke Inggris, lanjut Adrian, maka dulu yang berkuasa berganti orang Inggris. Rafless pun diangkat menjadi anggota di loji itu, nama lojinya Gedung Loge de Vriendschap di Surabaya.
“Nah, selain Rafless waktu itu juga ada Menteri Penasehat Utama. Sebelum Rafless itu ada anggota kolonel namanya Johannes van den Bosch (pada 1797 sebagai seorang letnan dan kemudian diangkat menjadi kolonel, red). Lalu dibaiat kelompok itu,” ucapnya.
Lalu Johanes diangkat karirnya saat Perang Jawa, yakni Perang Diponegoro tahun 1830. Johannes sendiri merupakan Gubernur jenderal yang terkenal dalam ‘Kultur Tanam Paksa’. Johannes termasuk orang-orang penting yang ada di loji Surabaya.
“Terus, sebenernya tujuan Freemason itu apa? Oleh karena itu, sementara ini kalau yang samean tahu kaya gimana? Kita kan cuma tahu ritualnya?,” imbuhnya.
Jadi, tegas Adrian, intinya Freemason ingin menciptakan persaudaraan seluruh manusia (humanisme). Pemikiran itu disebarkan melalui pendidikan. Hanya saja, untuk abad ke-20, banyak organisasi semacam itu aktif di palang merah, memilih manuver di bidang kemanusiaan, amal dan sosial.
“Pada hakikatnya, mereka tidak menciptakan agama sendiri. Segala agama diterima, yang masuk awalnya emang orang Belanda. Yang akhir itu banyak orang Jawa yang gabung, mayoritas Islam,” bebernya.
“Gubernur pertama Jawa Timur, Gubernur Suryo itu gak banyak yang tahu. Jadi Bupati ikut Freemason, diundang. Hampir semua. Ketua BPUPKI itu juga anggota Freemason (Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, red). Bisa diibaratkan organisasi elite,” tuturnya.
Kalau pun ada ritual, beber Adrian, yang jelas mereka tidak membuat agama baru. Hanya membicarakan suatu hal. Yang sifatnya rohani, akan tetapi lebih sekuler. Kalau ritual, di loji Jogja, afa yang menyebut loji setan.
“Karena dianggap menyembah setan. Sebenernya tidak, jadi dulu itu disebut loji Mataram itu loji setan, pakai lambangnya bulan sabit dan bintang, itu lambang Islam banget,” bebernya.
Baru kemudian, sekira tahun 1960. Presiden RI Soekarno melarang termasuk Freemason. Waktu itu, perlu dipahami bahwa Bung Karno tidak melarang Freemason karena ajaran, tapi karena sumber dan jaringan afiliasinya.
“Afiliasi politik terutama, tujuan utama Freemason itu kemanusiaan. Kemanusiaan di atas nasionalisme. Jadi, ditakutkan akan mengganggu proses politik. Jadi, intinya seperti itu, karena ailiasi politiknya dilarang,” pungkasnya.