Kamis, Januari 28, 2021
Tugujatim.id
Advertisement
  • Home
  • News
  • Featured
  • Bisnis
  • Pendidikan
  • Wisata
  • Budaya
  • Entertainment
  • Pilihan Redaksi
  • Olahraga
  • Tugu TV
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Featured
  • Bisnis
  • Pendidikan
  • Wisata
  • Budaya
  • Entertainment
  • Pilihan Redaksi
  • Olahraga
  • Tugu TV
No Result
View All Result
Tugujatim.id
No Result
View All Result
Home News

Penelitian Kandidat Doktor UI: Pemberitaan Media di Indonesia Masih Homofobik

Redaksi Penulis Redaksi
Desember 4, 2020
in News, Pendidikan
Kandidat Doktor FISIP UI, Dina Listiorini. (Foto: Dokumen FISIP UI)
Share on FacebookShare on TwitterShare Whatsapp

Jakarta – Hasil penelitian kandidat doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Dina Listiorini, menunjukkan bahwa pemberitaan media di Indonesia tahun 2016-2018 masih homofobik. Hal tersebut disampaikan Dina saat sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi dengan promovendus yang berjudul “Rezim Kebenaran Media dalam Kepanikan Moral (Diskursus Foucauldian dalam Gelar Wicara Televisi dan Berita Daring 2016-2018)”, Jumat (4/12).

Sebagai informasi, Dini menjalani sidang terbuka ini secara daring dan dinyatakan lulus dengan predikat ‘Sangat Memuaskan’. Promotor Dina yakni Prof. Dr. Billy Sarwono, M.A. dengan Kopromotor Dr. Donna Asteria, M.Humdan Irwan M. Hidayana, M.A., Ph.D. Sedangkan untuk pengujinya adalah Sharyn Graham Davies, PhD (Monash University), Prof. Alois Agus Nugroho, Ph.D. (Atma Jaya Jakarta), juga Prof. Dr. Ilya R. Sunarwinadi, Dr. Ade Armando, M.S., dan Endah Triastuti, M.Si., Ph.D dari Universitas Indonesia. Sidang diketuai oleh Prof.Dr. Dody Prayogo.

Baca Juga: Stadion Gelora Bung Tomo Siap Sambut Piala Dunia U-20, Renovasi Rampung Desember

Disertasi Dina ini bertujuan menjelaskan terbentuknya sebuah rezim kebenaran media melalui praktik kuasa dan kebenaran yang dilakukan secara sistematik oleh industri media. Sejak berita daring memunculkan kasus administratif sebuah kelompok diskusi Support Group and Resource Centre on Sexuality (SGRC) di awal 2016, muncul berbagai berita satu sisi dipenuhi ujaran kebencian yang ditujukan pada individu atau kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif. Media menyebut mereka sebagai “LGBT”.

Dina, yang juga dosen Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menemukan bahwa baru di tahun 2016-2018 di Indonesia masa pasca Orde Baru, terjadi sebuah kepanikan moral seksual yang menyasar individu atau kelompok “LGBT”. Sementara pada masa Orde Baru, berita media mengenai “LGBT” tidak diletakkan pada kemarahan atau ujaran kebencian. Selama tiga tahun tersebut media massa baik konvensional atau daring menghujani kelompok“LGBT” ini dengan berita satu sisi yang berisi stigma, marginalisasi dan upaya kriminalisasi.

Dina Listiorini yang juga dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. (Foto: Dokumen FISIP UI)
Dina Listiorini yang juga dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. (Foto: Dokumen FISIP UI)

Pernyataan-pernyataan keras penolakan “LGBT” terutama berasal dari pemerintah seperti para pejabat publik kementrian hingga komisi-komisi negara, politisi DPR-MPR, akademisi, tokoh masyarakat, ormas agama dan tokoh agama lainnya. Suara komunitas “LGBT” nyaris tidak terdengar selama 3 tahun tersebut.

Laporan Komnas HAM periode 2012-2017, laporan LBHM 2017, laporan HRW 2016 dan 2018 menyatakan komunitas “LGBT” Indonesia berada dalam situasi kritis, mencekam, dan berada di bawah tekanan yang luar biasa. Elemen negara dan masyarakat menjadikan komunitas “LGBT” sebagai folk devils atau setan masyarakat yang tidak hanya ditolak tetapi juga perlu dikriminalkan karena keberadaan mereka yang tidak sesuai dengan norma agama dan nilai-nilai sosial bangsa Indonesia.

Baca Juga: 6 Tips Mudah Tetap Produktif Selama Akhir Pekan

Dina menjabarkan bahwa dalam kepanikan moral seperti kepanikan moral seksualitas seperti yang terjadi pada 2016-2018, media berperan penting dengan membangun narasi ketakutan. Bentuknya adalah dengan mempromosikan kekacauan dan keyakinan adanya “hal-hal di luar kendali.”

Diskursus ketakutan dibangun melalui berita dan berbagai bentuk budaya populer. Konstruksi moralitas dalam kepanikan moral seksual menjadi prioritas utama terpenting. Dalam hal ini kelompok yang memutuskan seksualitas seperti apa yang dianggap “baik” atau “buruk” memiliki kekuatan resmi dan selalu bersanding dengan struktur kekuasaan.

Kesimpulan penelitian ini antara lain, bahwa rezim kebenaran media tahun 2016-2018 yang diproduksi dalam jaringan kuasa dan pengetahuan adalah rezim kebenaran media homofobik. Rezim ini dibangun melalui tiga peminggiran terhadap “LGBT”dalam proses produksi berita yaitu peminggiran secara ekonomi, secara politik, dan sosial dan budaya.

Kepanikan moral yang terbentuk melalui relasi kuasa dan pengetahuan harus terjadi untuk melanggengkan diskursus heteronormatif. Proses melanggengkan membutuhkan pendisiplinan. Media menjadi salah satu “agen”negara yang menjaga moral sekaligus mendisiplinkan seksualitas warga negara. Kepanikan moral menjadi metode pengendalian sosial masyarakat melalui disiplin kebertubuhan. Kepanikan moral yang homofobik, menyebarkan rasa takut dan ancaman adalah salah satu metode kuasa heteronormatif untuk melakukan penundukan seksualitas manusia: tubuh yang patuh.

Baca Juga: Fenomena Gunung Meletus, Ring of Fire, dan 127 Gunung Api di Indonesia

Dalam rezim kebenaran media homofobik tersebut, muncul kegiatan pelatihan bagi jurnalis mulai dari jurnalis lapangan, calon jurnalis dan jurnalis tingkat editor hingga redaktur. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk). Dina menyimpulkan, “Kegiatan pelatihan jurnalis yang dilakukan AJI dan Sejuk adalah kuasa alternatif. Dalam kegiatan itu mempertemukan komunitas “LGBT” dengan pihak media. Hal ini sesungguhnya merupakan perlawanan terhadap keberadaan kuasa dan pengetahuan heteronormatif yang didukung oleh sebuah rezim moral. Rezim moral ini terdiri dari rezim heteronormatif, rezim Islam konservatif dan rezim pembungkaman pendidikan seks yang komprehensif.” (Adv)

Tags: FISIP UIJakartaLGBTnasionalpenelitian UIUIUniversitas Indonesia
Previous Post

Drama Terbaru Bulan Desember: True Beauty

Next Post

Syukur Mursid (Heri Mursid) Brotosejati: Label Syariah Dijadikan Modus Developer Nakal Tipu Konsumen

Next Post
Penasehat Real Estate Indonesia (REI) Malang, Syukur Mursid Brotosejati menjelasn bahwa developer nakal kerap kali berkedok syariah. (Foto: Dokumen)

Syukur Mursid (Heri Mursid) Brotosejati: Label Syariah Dijadikan Modus Developer Nakal Tipu Konsumen

  • Trending
  • Comments
  • Latest
kampus UM

Banyak Diincar Calon Mahasiswa, Ini Kampus Terbaik di Klaster 1 dan 2 Jawa Timur

Agustus 27, 2020
Polisi amankan barang bukti motor Pelaku Pembacokan di Malang: Teman Dekat Sekaligus Tetangga

Pelaku Pembacokan di Malang: Teman Dekat Sekaligus Tetangga

November 19, 2020
one piece 991 one piece volume 97

Spoiler One Piece 991: Jack Tumbang, Kinemon Tebas Napas Api Kaido

Oktober 15, 2020
Mencari Corona Lewat Puisi Marhalim Zaini

Mencari Corona Lewat Puisi Marhalim Zaini

Agustus 27, 2020
biduan kena tipu

Modus Investasi Tembakau, Biduan Asal Malang Kena Tipu Rp 350 Juta

5
Kondisi pengungsian akibat erupsi Gunung Semeru. (Foto: BEN/Tugu Jatim)

Dua Desa di Lumajang Bertahan di Pengungsian Pasca-Erupsi Gunung Semeru

4
ilustrasi obesitas

Awas, Obesitas Tingkatkan Risiko Kematian COVID-19 hingga 48 Persen

4
senjata api

Polisi Bekuk Sindikat Senjata Api di Malang, Sita Belasan Pucuk Pistol

3
Direktur GTK Dikmen Diksus Kemendikbud, H Yaswardi pada kegiatan pelatihan jurnalistik dalam rangka Fellowship Jurnalisme Pendidikan 2021. (Foto: Dokumen/Tugu Jatim) guru penggerak, sekolah penggerak, kemendikbud tugu jatim

Kemendikbud Dorong Guru dan Sekolah Penggerak Bisa Ciptakan Suasana Pendidikan yang Menyenangkan

Januari 28, 2021
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak diwawancara pasca mengikuti vaksin tahap kedua di Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya. (Foto: Rangga Aji/Tugu Jatim)

Wagub Emil Dardak: Tensi Vaksinasi Tahap Kedua Lebih Rendah Dibanding Tahap Pertama

Januari 28, 2021
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak saat wawancara setelah menjalani vaksinasi sinovac tahap kedua di Kantor Gubernur, Surabaya. (Foto: Rangga Aji/Tugu Jatim)

Waketu DPRD Jatim: Tidak Perlu Khawatir Divaksin, Justru Tubuh Semakin Sehat Pasca Vaksinasi

Januari 28, 2021
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengikuti kegiatan vaksinasi sinovac tahap kedua melalui virtual di Surabaya, Jatim. (Foto: Rangga Aji/Tugu Jatim)

Gubernur Jatim Khofifah: Dengan Inisiasi Format “Jatim Bangkit”, Perlu Kesehatan yang Kuat

Januari 28, 2021
Tugujatim.id

© 2019 - IT TUGUJATIM.

Pilihan Kami

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Info Kerjasama

Ikuti Kami

No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Featured
  • Bisnis
  • Pendidikan
  • Wisata
  • Budaya
  • Entertainment
  • Pilihan Redaksi
  • Olahraga
  • Tugu TV

© 2019 - IT TUGUJATIM.

We would like to show you notifications for the latest news and updates.
Dismiss
Allow Notifications