Oleh: Fathul H. Panatapraja, Ketua Lesbumi NU Kota Malang
Nuqtatul Wujud
Bismillahirrahmanirrahim, adalah lafadz yang merupakan rukun qauli untuk membuka jalan membaca Al-Fatihah sebagai pembuka “tabir” Allah, dengan segala keluasan dan kekuasaannya, dengan segala jalal dan jamalnya.
Seorang pemikir besar yang bergelar Syekh Al-Akbar, yaitu Muhyiddin Ibnu Arabi (Muhyiddin adalah nama pemberian dari Syekh Abdul Qadir Jailani, yang juga merupakan nama asli dari Syekh Abdul Qadir Jailani) dalam karyanya Tafsir Ibnu Arabi telah melakukan ta’wil (mengambil makna tersembunyi) dari lafadz yang dzahir.
Ibnu Arabi berpendapat bahwa lafadz basmalah sebanding dengan pengucapan “kun” bagi Allah. Jika seorang hamba mengucapkan basmalah atas atau untuk sesuatu, maka sama halnya seperti saat Allah mengucapkan “kun” (ketika menginginkan sesuatu). Dia juga mengatakan bahwa semua hal yang ada itu berawal dari huruf ba’nya lafadz basmalah, karena huruf ba’ pada basmalah adalah huruf yang mengiringi alif yang diletakkan pada Dzatnya Allah SWT.
Baca Juga: Virus HMPV Rentan Serang Anak-Anak, Dinkes Tuban Tegaskan Belum Ada Kasus
Dalam perkembangan yang lebih lanjut, para ulama’ tasawuf juga memiliki pandangan yang sama dengan Ibnu Arabi, tentang ba’ sebagai permulaan. Lalu mereka menambahkan bahwa Allah menaruh namanya pada titik huruf ba’. Di dalam titik itu berbunyi: Bikana makana, Wabi yakunu mayakunu: Sebab Aku (Allah), yang ada menjadi ada. Dan hanya sebab Aku (Allah), yang akan ada menjadi ada.
Dalam kitab Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Asyfiya, karya Syekh Abu Bakar Syatho disebutkan:
وَقَالُوْا اَوْدَعَ اللهُ جَمِيْعَ الْعُلُوْمِ فِي الْبَاءِ أَيْ بِيْ كَانَ مَا كَانَ وَبِيْ يَكُوْنُ مَايَكُوْنُ فَوُجُوْدُ الْعَوَالِمِ بِيْ
“Para ulama’ ahli tasawuf mengatakan, Allah menitipkan seluruh ilmunya pada huruf ba’, yaitu karena kekuasaan-Ku (bi) wujudlah segala sesuatu yang telah ada, karena kekuasaan-Ku pula terwujud sesuatu yang akan ada, dan adanya alam semesta adalah atas kekuasaan-Ku.”
Dalam Bundel Naskah Kajen yang berjudul Arsyul Muwahhidin yang terdiri dari 295 halaman dan beraksara pegon, terdapat tafsir surat Al-Fatihah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dari seluruh surat yang ada di dalam Al-Qur’an, surat Al-Fatihah merupakan jantung hati kaum sufi. Bisa ditebak, bahwa tafsir di dalam bundel naskah atau kitab Arsyul Muwahhidin tersebut beraroma sufistik.
Dalam bundel naskah tersebut, lafadz bismillahi diartikan dengan “ing mbun-mbun mami dhohir ing rasaning wong” (di ubun-ubun saya nyata dirasakan orang). Lafadz basmalah diumpamakan sebagai ubun-ubun kepala, berada di atas sebagai simbol pertama dalam anatomi tubuh manusia. Menunjukkan bahwa dalam memulai sesuatu harus melalui basmalah untuk menyebut nama Allah SWT.
Dan dengan bermodalkan bismillah sebesar biji sawi, Pesantren Budaya Karanggenting ditumbuhkan, pada tanggal 1 Januari 2024 (Senin Pahing, 19 Jumadil Akhir 1445 Hijriah).
Menghidupkan Sengkalan: Penanda Waktu Warisan Para Pendahulu
“Sikep Tata Janawaning Cipta” (menahan dan menata diri merupakan tempat mengalirnya inspirasi), adalah Candra Sengkala yang terpasang di dinding bagian luar, Langgar Pesantren Budaya Karanggenting. Jika dibaca sandinya dari kanan ke kiri maka akan muncul angka 1445.
Seperti yang sudah diketahui secara umum, bahwa sengkala atau sengkalan merupakan kronogram atau sandi penulisan (penanda) tahun dengan kalimat yang tiap kata dan atau visualnya merupakan perlambangan dari suatu angka. Ada dua jenis sengkalan yaitu Surya Sengkala (tahun berdasarkan kalender solar) dan Candra Sengkala (berdasarkan kalender lunar). Ada dua bentuk sengkalan, yaitu Sengkalan Lamba berupa teks sebagai narasi yang mewakili bilangan yang dikehendaki, dan Sengkalan Memet berupa visual yang memiliki filosofi.
Di dalam sejarah dunia pesantren, terdapat pesantren yang usianya sangat tua (saat ini sudah 5 abad), yaitu Pondok Pesantren Somalangu, Kebumen. Di Pondok Pesantren Somalangu, terdapat sebongkah batu zamrud hijau bertuliskan huruf Jawa berbunyi “Bumi Pitu Ina”, dan disertai huruf hijaiyah beserta nama bulan Hijriahnya “25 Sya’ban 879 Hijriah”, jika dikonversi ke kalender Masehi, yakni 4 Januari 1475. Itulah Candra Sengkala milik Pondok Pesantren Somalangu.
Pesantren Budaya Karanggenting, mencoba melakukan ittiba’ – tafa’ulan, mengharap keberkahan atas ikhtiar kecil tersebut.
Ruang Bertemu dan Bertumbuh
Alegori Pertemuan:
Dua orang berjanji untuk bertemu di sebuah tempat yang belum pernah mereka datangi. Mereka datang sendiri-sendiri dan baru tahu bahwa lokasi pertemuannya sangatlah luas. Mereka pun kesulitan bertemu satu sama lain. Dalam situasi seperti ini, masing-masing dari mereka harus memilih antara menunggu di suatu tempat supaya ditemukan atau mencari, yang mungkin salah satu atau keduanya juga saling menunggu di suatu tempat, di sudut yang tak diketahui.
Apabila mereka berdua memilih menunggu, mereka tidak akan pernah bertemu. Apabila mereka memilih mencari, mereka bisa saja bertemu atau tidak sama sekali.
Pesantren Budaya Karanggenting, merupakan rendezvous bagi para pengkhidmat masyarakat. Saling bertemu, saling belajar, dan saling membersamai. Serta saling menumbuhkan motivasi.
Anda Datang Kami Temani
Siapa pun Anda, silakan datang, kami akan selalu menemani.
Malang, 8 Januari 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Editor: Dwi Lindawati