MALANG, Tugujatim.id – Candi Sumberawan merupakan situs purbakala yang terletak di kawasan Dusun Sumberawan, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Dikelilingi oleh aliran sungai serta pepohonan tinggi menjulang yang sudah berusia ratusan tahun menambah suasana asri dan teduh. Semilir angin yang sepoi membuat pengunjung betah berlama-lama di lokasi yang satu ini.
Selain panorama alam indah, hamparan hijau pepohonan, udara yang bersih, ada juga sebuah stupa yang berdiri megah menunjukkan keluhuran moyang terdahulu.
Rosidah, 50, juru pelihara candi ini menerangkan, penamaan candi merujuk pada struktur kawasannya, di mana dulunya itu merupakan sumber mata air terbesar. Candi Sumberawan artinya candi yang berdiri di atas sumber yang dikelilingi rawan/rowoan. Namun, karena sering terjadi longsor sehingga mengubah rawa tersebut menjadi sungai.
Candi Sumberawan ditemukan kali pertama pada 1904, kemudian dilakukan penelitian Dinas Purbakala secara bertahap, pada zaman Hindia Belanda pada 1935. Selanjutnya, dilakukan pemugaran pada bagian kaki candi dan rekonstruksi pada 1937.
Batur candi berdenah bujur sangkar, tak memiliki tangga, polos, dan tidak berelief. Candi terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Sedangkan di bagian atas terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya.
Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan berbentuk padma. Sedangkan bagian atas berbentuk genta atau stupa, yang puncaknya telah hilang. Kesulitan yang dialami para peneliti menjadikan pemasangan bagian atas candi terpaksa dihentikan.
Menurut ahli purbakala, Candi Sumberawan dulu bernama Kasurangganan. Sebuah nama yang terkenal dalam kitab Negarakertagama. Untuk menghindari kesalahan, diputuskan puncak candi tidak dipasang atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan.
Dari bagian batur dan stupa diperkirakan bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai 15, pada masa Majapahit. Berbentuk stupa dengan latar belakang Buddha menjadi tempat suci untuk meditasi dan ritual keagamaan lainnya.
“Di sini candi Buddha, tapi digunakan semua agama. Kalau Hindu biasanya ke air, Buddha fokus ke candi, Kristen ke airnya untuk keperluan pembaptisan. Penganut Kejawen pada ritual satu Suro ada dua versi, ada yang berdiam diri (topo), ada yang istighotsah juga,” ungkap Rosidah, perempuan yang sudah menghabiskan 20 tahun lebih menjadi juru pelihara candi tersebut.
Sumber air yang mengalir dari ketinggian 650 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini dipercaya sebagai sumber air suci, disebut amerta atau air keabadian.
“Amerta dalam bahasa Sansekerta artinya tidak mati atau abadi, warna atau bentuknya berbeda, tapi sifatnya sama,” imbuhnya.
Dia juga mengajak seluruh anak muda dan para pengunjung agar bersama merawat situs ini dan terus menghormati perbedaan.
“Meskipun kita berbeda, tapi memiliki moyang yang sama,” tutupnya.
Kini situs Candi Sumberawan telah menjadi lokasi wisata, dikelola oleh Dinas Purbakala dan Dinas Kehutanan bekerja sama dengan lembaga kemitraan desa. Untuk bisa menikmati keindahannya, pengunjung cukup membayar tiket Rp 5.000/orang dan uang parkir Rp 2.000/sepeda motor. Sangat terjangkau bukan? Kapan Anda berkunjung ke Candi Sumberawan? (Ovi/Gufron/ln)