Tanzania – Sebuah laporan terbaru memperkirakan setidaknya terdapat 29 juta perempuan dan anak perempuan menjadi korban perbudakan modern. Mereka dieksploitasi melalui praktik-praktik seperti kerja paksa, kawin paksa, jeratan hutang, hingga perbudakan rumah tangga.
Data tersebut disampaikan oleh pegiat HAM dan kebebasan dari perbudakan, Walk Free melalui konferensi persi Perserikatan Bangsa Bangsa, Jumat (09/10/2020) lalu. Yang artinya, terdapat satu di antara 130 perempuan dan anak perempuan menjadi korban perbudakan modern.
Hal tersebut disampaikan sendiri oleh salah satu pendiri organisasi anti-perbudakan Walk Free tersebut, Grace Forrest.
“Kenyataannya adalah bahwa ada lebih banyak orang yang hidup dalam perbudakan saat ini daripada waktu lainnya dalam sejarah manusia,” ujarnya pada konferensi pers PBB, seperti dilansir dari CTV News.
Walk Free mendefinisikan perbudakan modern adalah sebagai penghapusan sistematis dari kebebasan seseorang, di mana satu orang dieksploitasi oleh orang lain untuk keuntungan pribadi atau finansial.
Forrest menambahkan bahwa perkiraan global tersebut berdasarkan hasil kerja Walk Free, Organisasi Perburuhan Internasional dan Organisasi Internasional untuk Migrasi, keduanya merupakan badan-badan PBB.
“Apa yang ditunjukkan oleh laporan ini adalah bahwa gender memberi peluang bagi anak perempuan sejak pembuahan sepanjang hidup mereka,” katanya.
Menurut laporan, berjudul “Stacked Odds,” perempuan merupakan 99 persen dari semua korban eksploitasi seksual paksa. Sedang 84 persen dari korban kawin paksa, sedang 58 persen dari semua korban kerja paksa.
“Wajah perbudakan modern saat ini telah berubah secara radikal,” tambah Forrest.
“Kami melihat eksploitasi yang dinormalisasi dalam ekonomi kami dalam rantai pasokan transnasional dan juga dalam jalur migrasi. Orang-orang paling rentan di dunia telah didorong lebih jauh ke dalam praktik perbudakan modern ini karena COVID-19,” paparnya.
Dia mengatakan perkiraan perempuan dan anak perempuan dalam perbudakan modern merupakan suatu yang konservatif. Karena hal itu tidak memperhitungkan apa yang terjadi selama pandemi.
“Peningkatan tajam pernikahan paksa dan perkawinan anak serta kondisi kerja yang dieksploitasi di seluruh dunia,” imbuhnya
Forrest mengatakan Walk Free dan program Every Woman Every Child dari PBB meluncurkan kampanye global untuk menuntut tindakan menghapus perbudakan modern.
Kampanye tersebut mendesak diakhirinya pernikahan anak dan pernikahan paksa, yang belum dikriminalisasi oleh 136 negara.
Ini mendesak penghapusan sistem legalisasi eksploitasi yang secara hukum mengikat status imigrasi pekerja migran dengan pemberi kerja atau sponsor selama masa kontrak mereka.
Kampanye tersebut juga mendorong transparansi dan akuntabilitas bagi perusahaan multinasional.
“Kami tahu bahwa perempuan dan anak perempuan mengalami tingkat eksploitasi dan kerja paksa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yakni dalam rantai pasokan barang yang kami beli dan gunakan setiap hari seperti pakaian kopi, dan teknologi,” tutup Forest. (gg)