MALANG – Fenomena menara gading di kalangan akademisi sudah jadi rahasia umum. Namun tidak bagi dia, Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya namanya. Bisa dibilang sosoknya merupakan guru besar paling progresif sepanjang berdirinya Universitas Brawijaya (UB) Malang.
Bagaimana tidak? selain mengajar dan aktif di dunia akademis, pria yang akrab disapa Nyoman ini juga getol turun gunung mengadvokasi masyarakat adat yang sampai saat ini kerap tersisih di mata hukum.
Tak terhitung sudah berapa suku di Indonesia yang mendapat perhatian, baik dalam konteks penelitian hingga bantuan pelayanan hukum darinya. Mulai dari warga Suku Sakai Anak Dalam (Riau), Suku Baduy (Banten), Suku Tengger, Suku Biak (Numfor), Suku Dayak dan kaum-kaum minoritas lainnya.
Baca Juga: Tips dan Cara Efektif Membangun Komunikasi dengan Anak Sejak Usia Dini
Nama Nyoman Nurjaya juga bahkan sudah tak asing lagi di isu-isu seputar kasus HAM, konflik agraria hingga lingkungan yang menyangkut masyarakat adat di Indonesia selama ini.
Nyoman juga kerap dirujuk menjadi saksi ahli di Pengadilan kasus kriminalisasi masyarakat adat hingga Ahli di Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil dalam perancangan UU Kehutanan, UU Minerba, UU Sumber Daya Air, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil hingga perancangan UU yang fokus pada pengabaian hak hak masyarakat hukum adat.
Menurut dia, keberpihakan terhadap masyarakat adat menjadi pilihan sadar baginya, bahwa dalam realitasnya mereka adalah kaum yang disisihkan.
”Padahal secara konstitusi mereka ada dan diakui. Tapi dalam kenyataannya, mereka tidak berdaya, mereka tidak sepenuhnya berdaulat atas hak mereka sepenuhnya,” ungkapnya ditemui reporter di kediamannya di daerah Bunul, Kota Malang, Jumat (2/10).
Baca Juga: Buah-Buah Terbaik untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh
Tak heran jika seluruh pikiran, raga dan waktunya total dicurahkan untuk masyarakat adat. Nyoman Nurjaya mengisahkan, mulai turun gunung sejak 1990 usai menekuni studi Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda pada 1989 silam.
Antropologi hukum, kata dia membuka matanya untuk keluar dari cangkang ilmu hukum normatif yang kaku. Menurut dia, hukum merupakan produk kebudayaan yang tidak bisa terlepas dari sosial budaya dan sekitarnya.
Bahkan secara historis, masyarakat adat sudah terlebih dulu lahir sebelum negara lahir. Maka sudah sepantasnya hukum dalam prinsipnya juga harus memberi perlindungan, tidak hanya mengadili.
”Bahwa secara normatif, hukum tetap harus melihat kenyataannya. Jadi dalam menakar hukum, jangan dipandang dengan ukuran pribadi (ethic view) tapi juga harus memahami latar belakang kebudayaan mereka. Kalau nggak, ya jelas itu gak beres,” kata pria berusia 66 tahun ini.
Pria kelahiran Negara, Bali ini mengungkapkan bahwa rata-rata masyarakat adat semakin tersisih karena negara itu sendiri. Dicontohkan seperti Suku Anak Dalam, Suku Sakai, Suku Dayak kini semakin tersisihkan.
Perlahan eksistensi mereka diberangus hingga bahkan digusur hak wilayahnya hanya berorientasi kekonomi. Artinya, pembangunan negara hanya memandang kehidupan dengan kepentingan nilai ekonomi semata tanpa memperhatikan nilai sosial dan budaya masyarakat adat.
”Semakin kesini, semakin gak beres. Ada gejala yang saya sebut ‘pseudo constituitonal recognition’. Masyarakat diakui hanya secara konstitusi, semu bahkan dianggap warga kelas dua. Penghidupannya habis, diberangus negara sendiri,” ucap pria kelahiran 25 September 1954 ini.
Atas sepak terjangnya tersebut, UB Malang kemudian menunjuk Prof Nyoman untuk memimpin sebagai Ketua Pusat Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial di UB tahun 1986-1990. Hingga kemudian, dipercaya menjadi Ketua Program Magister Ilmu Hukum, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum hingga Ketua Badan Kerjasama Internasional di FH UB.
Hingga kemudian, pada 2006 ia dinobatkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. Hingga saat ini, Prof Nyoman menjadi satu dari enam guru besar di FH UB yang tersisa. Sosoknya fenomenal dan mampu membawa atmosfir akademis di UB menjadi riuh dan terbuka.
Baca Juga: Mau Gaji Aman Hingga Akhir Bulan? Ikuti Langkah-Langkah Berikut ini!
”Saya dulu banyak ditentang karena lebih condong ke hukum empiris, daripada normatif. Tapi lambat laun pandangan saya bisa diterima. Makanya FH disini agak berbeda, lebih terbuka bagi mahasiswa untuk menentukan pilihan sudut pandang,” tutur pria anak dua ini.
Dalam kurun 2002 hingga 2019, total sudah ada 10 karya ilmiah yang dia telurkan. Semua berkaitan dengan konteks hukum masyarakat adat. Dalam 5 tahun terakhir, ia kerap diundang dalam sejumlah Seminar Nasional maupun Internasional.
Namanya sebagai pemakalah utama, narasumber, pembicara, konsultan bahkan hingga juri hakim peradilan. Namanya pun juga wara-wiri menjadi rujukan media massa baik dalam isu seputar masyarakat adat hingga pakar kriminolog.
Informasi yang dihimpun, total ada 16 karya ilmiah jurnalnya dipublikasikan membanjiri katalog Jurnal Internasional dalam kurun 5 tahun terakhir. Dedikasi Prof Nyoman semakin konkrit melalui judul-judul buku yang dia telurkan. Semua berkaitan dengan keberpihakan pada perlindungan hak masyarakat adat atas lingkungan hidup dan sumber alam.
Total sudah ada 5 judul buku dia telurkan dan menjadi sumber rujukan dan referensi utama dalam menekuni dunia antropologi hukum dan menyoroti kasus-kasus masyarakat adat di Indonesia dalam konteks hukum. (azm/gg)