Tugujatim.id – Mahasiswa dicitrakan sebagai pelajar istimewa. Pasalnya, mereka tak sekedar menimba ilmu, tetapi juga disebut-sebut pembawa perubahan (agent of social change). Dulu, mahasiswa dan sarjana menjadi gelar prestisius yang tak semua orang bisa meraihnya. Ditambah perkembangan zaman yang belum pesat menjadikan mereka tahan banting ditempa beragam persoalan.
Namun, kini mahasiswa dan sarjana tak lagi menjadi barang mewah. Mereka bertebaran di pelosok negeri seiring dengan pesatnya teknologi. Jumlah mahasiswa membengkak, lulusan sarjana membludak. Sayangnya lonjakan kuantitas mahasiswa dan sarjana, tidak dibarengi perkembangan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang mumpuni.
Bahkan, peluang kerja terkesan jomplang, jika dibandingkan dengan angkatan kerja yang terus meningkat. Inilah sebabnya, sarjana banyak yang jadi pengangguran.
Selain itu, di zaman modern ini, mahasiswa yang didominasi generasi Z disebut-sebut memiliki banyak kekurangan. Tidak sedikit faktor-faktor yang melemahkan posisi tawar mahasiswa. Mulai dari faktor literasi, etika, dan rendahnya daya kritis mahasiswa.
1. Rendahnya Minat Baca
UNESCO melansir, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut data yang dirilis, minat baca hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 yang rajin membaca. Hal ini sangat mungkin terjadi pada mahasiswa.
Akibatnya, cakrawala pengetahuan dan wawasan mereka menjadi lebih sempit. Namun, tampaknya minat baca yang dimaksud ialah minat membaca buku dan artikel ilmiah. Sebab, jika melihat aktivitas di media sosial, mereka cukup aktif di dunia maya.
2. Rendahnya Minat Menulis dan Penelitian
Menulis ilmiah menjadi hal wajib bagi mahasiswa. Namun, di sana-sini masih banyak mahasiswa yang kurang berminat dalam dunia kepenulisan. Tidak usah jauh-jauh menelisik data, kita bisa melihat kanan-kiri kita atau bahkan diri kita sendiri.
Bagaimana sulitnya memulai menulis, apalagi menghasilkan tulisan ilmiah yang berkualitas. Pun tak jarang kita merasa kesulitan mengerjakan skripsi. Hal ini tak lain sebagai akibat rendahnya minat membaca.
3. Persoalan Etika
Etika selalu menjadi persoalan krusial, terlebih hidup di bangsa ketimuran. Ternyata, mahasiswa juga bisa terkikis oleh gempuran degradasi moral. Tidak usah jauh-jauh, di sekeliling kita, banyak pihak yang mulai mengeluhkan perihal etika mahasiswa.
Terlebih di era pembelajaran online, sering terdengar kasus komunikasi mahasiswa kepada dosennya yang tidak memperhatikan sopan santun. Tak hanya itu, kemudahan menimba ilmu dari berbagai sumber, menjadikan tenaga pendidik seakan tidak dihargai lagi. Tentu saja, ini bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
4. Menurunnya Daya Kritis terhadap Persoalan Sosial
Mahasiswa zaman dahulu telah mampu membuat gebrakan reformasi. Capaian ini menjadikan mahasiswa layak disebut agen perubahan. Namun, perlahan mahasiswa mulai kehilangan daya kritis dan kepekaannya dalam menyikapi persoalan sosial.
Bahkan, ada yang kurang memiliki kepekaan terhadap masalah yang terjadi di sekelilingnya. Padahal, kontribusi mereka sangat ditunggu untuk kemajuan bangsa.
Beberapa hal inilah yang sering melatarbelakangi ungkapan “mahasiswa sekarang berbeda dengan mahasiswa dahulu”. Jika tidak segera disadari, mahasiswa generasi Z akan semakin diasumsikan mengalami degradasi kualitas. Bahkan, mahasiswa bisa kehilangan eksistensi sebagai kaum terpelajar dan agen perubahan.
Namun, adanya kekurangan yang menjangkit mahasiswa ini jangan sampai menafikkan prestasi dan capaian keberhasilan yang telah diraih. Justru, kekurangan ini bisa menjadi catatan dan bahan refleksi. Mahasiswa harus menyadari kelemahannya dan bangkit memperbaiki diri.
Bahkan, catatan ini bisa menjadi cambuk motivasi. Ya, mahasiswa kekinian bisa dikatakan menghadapi tantangan yang lebih berat. Bagaimana tidak, di tengah arus modernisasi dan disrupsi, mahasiswa dituntut memiliki kreativitas dan inovasi.
Sementara di sisi lain, narasi-narasi yang menggaungkan penurunan kualitas mahasiswa semakin keras. Dua tantangan ini harus menjadi perhatian mahasiswa. Mereka harus meningkatkan kualitas dan kompetensi diri. Tidak hanya untuk mengembalikan eksistensinya sebagai pembawa perubahan dan pembawa estafet kepemimpinan masa depan, tetapi juga untuk membangkitkan kembali kualitas mahasiswa yang berdedikasi.